indra

Siak Sri Indrapura website

Siak Sri Indrapura
Go to content

Main menu:

Raja Kecik
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah(sultan siak 1)
(marhum buantan)(1725m-1746)

Raja Kecil Pendiri Kerajaan Siak Sri Indrapura

Abstract : The aim of the research is to find out how Siak Sri Indrapura Palace was existed by Raja Kecil in 1723 at Buantan. The method used in this research is library research by comparing two Malay literatures, Tuhfat al Nafis holy book and Siak war poem. The result of this research is to prove that Raja Kecil is Raja Malakas generation. Who finally bmlt Siak Sri Indrapura Palace after they were not able to defend their autliority in Malaka.
Keywords : Ra/'a Kecil, Siak Sri Indrapura
PENDAHULUAN Sebutan "Siak Sri Indrapura" sampai sekarang masih tetap abadi sebagai nama kota Siak Sri Indrapura, yaitu ibukota dari Kabupaten Siak, salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Riau. Secara etimologis terdapat beberapa pendapat tentang asal usul kata "Siak". Ada yang beranggapan bahwa kata Siak berarti orang penunggu masjid (gharin), dan juga berarti orang yang tahu tentang seluk beluk agama. Kata gharin tersebut berasal dari bahasa Arab. Pendapat lam menyatakan bahwa kata Siak berasal dari kata "lasiak" (bahasa Batak) yang artinya lada. Menurut cerita rakyat suatu ekspedisi Batak pernah datang ke Siak. Dalam perjalanan mengaliri sungai Siak mereka menemukan pohon lada di pinggirpinggir sungai Siak, yang menurut bahasa mereka namanya pohon lasiak. Ada juga yang mengatakan bahwa Siak berasal dari kata "suak", yaitu tempat atau kampung yang dialiri oleh anak sungai kecil yang banyak terdapat di sepanjang sungai Siak. Pendapat lain mengatakan bahwa kata Siak berasal dari kata "siak-siak", nama sejenis tumbuhan rumput-rumputan yang akar dan buahnya dijadikan obat. Kata Siak akhirnya diabadikan pada nama kerajaan Siak Sri Indrapura.' Kota Siak Sri Indrapura terletak di pinggir sebuah sungai dengan nama yang sama, yaitu sungai Siak Sri Indrapura. Sungai ini adalah sungai terdalam di Indonesia, dengan panjangnya 300 Km. sungai ini merupakan urat nadi dari perekonomian masyarakat Siak. Melalui sungai Siak Sri
Muchtav l.iitfi. Scjatah RiaLi. 1977. Hal 14.
50 Jumal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
Indrapura ini arus barang dari dan ke kota Pekanbaru diangkut baik untuk tujuan ekspor maupun untuk antar pulau. Minyak bumi dan kayu banyak diangkut kapal-kapal ke luar negeri melalui sungai ini. Di kota Siak Sri Indrapura masih berdiri kokoh bekas istana kerajaan Siak Sri Indrapura yang terkenal dengan nama "Astana Asserayah Hasyimiah". Di sinilah tempat pusat pemerintahan dan dari sinilah dikendaUkan kegiatan pemerintahan kerajaan Siak Sri Indrapura dengan seluruh daerah takluknya, sampai berakhirnya kerajaan Siak Sri Indrapura, yaitu setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia diumumkan oleh Soekarno-Hatta. Sebelum berdirinya kerajaan Siak Sri Indrapura pada tahun 1723, daerah Siak dan sekitarnya berada di bawah penguasaan kerajaan JohorRiau. Karena itu raja-raja di Siak ditunjuk dan diangkat oleh raja kerajaan Johor-Riau. Pada masa kerajaan Johor-Riau diperintah oleh Sultan Mahmud Syah I, beliau mengangkat Raja AbduUah di Siak dengan gelar Sultan Khoya Ahmad Syah. Pada tahun 1596 Raja Hasan putra Sultan AU Jallo Abdul JaHl Raja Johor-Riau, ditabalkan sebagai Raja di Siak.'^ Raja Hasan memerintah sampai tahun 1662. Tahun 1662 kerajaan Johor-Riau menganggap bahwa Siak tidak perlu lagi didudukkan seorang Raja sebagai wakil pemerintahan kerajaan Johor-Riau. Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan ekonomis, bukan berdasarkan pertimbangan politis maupun pertahanan keamanan saja. Dari segi ekonomis dianggap bahwa kalau di Siak diduduki seorang Raja akan memerlukan pembiayaan yang besar, sedangkan perdagangan di Siak dan sepanjang aMran sungai Siak belum begitu menguntungkan. Timah dan emas merupakan komoditi utama dari Petapahan hanya tersedia puluhan pikul saja, tidak seperti diharapkan.^ Dari segi politis, pertanan dan keamanan kerajaan Johor-Riau merasa yakin bahwa mereka mempunyai kekuatan yang tangguh. Pada masa itu kerajaan Johor-Riau sudah menjalin "persahabatan" dengan Belanda dalam menghadapi Portugis, dan musuh-musuhnya yang lain, sehingga kerajaan-kerajaan di sekitar selat Malaka menyeganinya. Apabila ada kekuatan lain yang mencoba mencerobohi Siak, angkatan laut kerajaan Johor-Riau akan segera beraksi untuk mengusir agresor tersebut. Berdasarkan pertimbangan itulah kehhatannya mulai tahun 1622
• H, 1). Adil. Scjatah Johor. 198", Hal 5.1. ^ I.eurJ. C. Van. Indonesian'I'radf Sicicty. 1955. Hal 74.
51 Jurnal llmu-ilmu Sejarah. Budaya dan Sosial
daerah itxi diserahkan kepada seorang Syahbandar yang bertugas memungut cukai bagi barang-barang ke luar masuk Sungai Siak.'' Syahbandar tersebut berkedudukan di Sabak Auh. Penempatan seorang Syahbandar di Siak berlangsung sampai tahun 1722, yaitu selama 100 tahun. Dengan berakhirnya tahun 1720, Siak yang semula berada di bawah kekuasaan Johor-Riau sudah berakhir, sebab Raja Kecil pada tahun 1723 mendirikan kerajaan yang berdiri sendiri di Buantan, Siak. BeUau dinobatkan menjadi Raja pertama dengan gelar Sultan Abdul JaHl Rakhmat Syah (1723-1746). Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah raja kedua, kerajaan Siak resmi namanya menjadi Siak Sri Indrapura. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis garis keturunan Raja Kecil, dan bagaimana Raja Kecil mendirikan kerajaan Siak Sri Indrapura. Manfaat peneUtian ini adalah untuk mengetahui bagaimana berdirinya kerajaan Siak Sri Indrapura.
METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metodc historis, yang digunakan oleh sejarawan untuk menyusun sejarah. Pendekatan yang digunakan melalui ''Pendekatan Kritik Sumber''' dan ''Sejarah IJsan {Oral History)" secara ekstemal dan internal. Proses yang dilalui ialah Heuristik, melaltai smdi Dokumen, buku-buku dan sumber lainnya.
PEMBAHASAN BERDIRINYA KERAJAAN SIAK SRI INDRAPURA Mengenai asal usul Raja KecU menimbulkan pandangan yang kontroversial di antara ahli-ahh sejarah dan pengamat sejarah. Masalahnya karena tidak adanya data maupun catatan yang akurat mengenai waktu lahir dan siapa orang tua yag sebenarnya dari Raja Kecil. Penulis maupun pelopor Barat hanya mendengar cerita Usan dari orang Melayu yang kebenarannya tidak dapat dipastikan dan malahan dalam bentuk serta data yang berbeda pula. Akibat keterbatasan sumber maka penuhs Barat maupun peneliti pribumi kemudian hanya mengandalkan sumbcr-sumber berupa tulisan orang Melayu yang ada yaitu: Hikayat Siak - Tvihfat al Nafis karangan Raja Ah Haji Hikayat Siak tentunya ditulis pada masa pemerintahan Sultan
']•;. Netscher. Dc Nederlanders m Djohor en Siak 1602 tut 18f>5 I lal .13.
52 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
Abdul JaUl Alamuddin Syah, isinya antara lain menceritakan asal usul Raja Kecil, peristiwa perebutan Johor dan peperangannya dengan orang Bugis, setta mengenai Sultan Alamuddin Syah. Tuhfat al -Nafis dikarang pada pertengahan abad ke 19. Isinya antara lain menceritakan kisah kerajaan Melayu maupun Bugis. Raja Ali Haji dalam menulis Tuhfat al Nafis juga banyak merujuk cerita Hikayat Siak, sekalipun dalam banyak hal kelihatan tidak mempunyai pandangan yang sama, malahan sangat sinis terhadap Hikayat Siak tersebut. Kedua sumber tersebut yang dikarang oleh orang dari etnis yang justru mempunyai kepentingan sendiri dan malahan berlawanan secara fisik. Sudah barang tentu mengundang unsur subyektivitas yang tinggi dan tidak mustahil kalau kedua buku tersebut memang dimaksud sebagai upaya legitimasi posisi masing-masing. Oleh karena itu kalau mau meneliti asal usvil Raja Kecil, maka perlu diadakan upaya perbandingan dari kedua sumber tersebut, dan juga perbandingan hasilhasil penelitian penulis Barat maupun penulis pribumi lainnya. Menelusuri asal usul Raja Kecil perlu dilakukan, untuk "mendudukkan" persoalan apakah beliau memang zuriat dari Sultan Mahmud Syah II raja kerajaan Johor-Riau yang memerintah dari tahun 1685-1699.^ Sebab kalau memang Raja Kecil putera satu-satunya Sultan Mahmud Syah II, maka dia mempunyai hak atas tahta kerajaan Johor-Riau, meneruskan pemerintahan ayahanda yang dibunuh oleh Laksamana Megat Sri Rama pada tahun 1699.*^ Sultan Mahmud Syah II tidak mempunyai zuriat'' yang akan meneruskan pemerintahannya, maka sesuai dengan ketentuan, Datuk Bandaharalah yang berhak menjadi raja. Pada awal September orangorang Besar Johor telah melantik Bendahara Paduka Raja Tun Abdul JaUl, yaitu anak almarhum Bendahara Padang Saajana menjadi Sultan Johor-Riau dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV.** Adiknya Tun Mahmud dilantik menjadi Yam Tuan Muda (Raja Muria)'^ Menurut Hikayat Siak, secara umum tentang asal usul Raja Kecil, Sultan Mahmud Syah II, mempunyai salah seorang gundik
' MuchtarLulE Sejarah Riau. 1977. Hal 197. ' Sultan Mahmud Syah 11 mentnggal dunia pada bulan Agustus 1699. dia memerintah hanya selama 14 tahun. Dia man muda yaitu masih betumur 24 tahun, dibunuh oleh Megat Sen Rama pada waktu di julang menuju mesjid untuk melaksanakan sembahyang Jum 'at. Kemudian dia dikenal dengan sebutan Marhum Mangkat Dijulang yang makamnya ada di Kota 't'inggt. Ahmad Yusuf. Kesuttanan Melayu Johor-Riau ke Kesultanan Melayu I.ingga-Riau. 1993. Hal 76. ^ Keturunan. * Lihat juga Ahmad Yusuf. Dati Kesultanan Melayu Johor-Riau kc Kesultanan Melayu !.mgga-Riau. ' H. B. Adil. Sejarah Johor. 1981). Hal 98.
53 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
bernama Encik Pong anak perempuan Laksamana. Malam menjclang baginda terbunuh, Encik Pong dipanggil baginda untuk mengurut kaki baginda: Pada waktu subuh Sultan Mahmud begitu bergairah dan air maninya ke luar di tikar. Baginda menyuruh Encik Pong menelan air mani tersebut agar dapat hamil dan kelak supaya merahasiakan kandungan itu, karena benih itu berasal dari raja Iskandar Zulkarnain, yang bakal meneruskan keturunan baginda. Dengan kehendak Tuhan, Encik Pong pun kemudian hamil. Encik Pong kemudian diambil oleh Laksamana dan disuruh sembunyikan kepada anak lelakinya yang saudara Encik Pong sendiri. Setelah Encik Pong melahirkan, Laksamana menemui Raja Negara Selat, kepala Orang Laut Singapura untuk menjelaskan kisah anak perempuan dan cucunya itu. Raja Negara Selat menyadari bahwa resikonya besar tetapi dia tetap bersedia mencrima bayi tersebut karena dialah pemerintah yang sebenarnya. Kemudian atas petunjuk Laksamana, Raja Negara Selat membawa dan mengantarkan bayi tersebut kepada Temenggung Muar. Temenggung mengambil bayi itu untuk dipelihara seperti anaknya sendiri. Setelah tujuh tahun, Temenggung Muar pulang ke Johor dengan anak tersebut yaitu putra Sultan Mahmud Syah dengan Encik Pong. Di Johor anak tersebut suka bermain di makam Sultan Mahmud Syah bersama anakanak lainnya. Ketika mereka memakan rumput yang ada di kuburan itu anak-anak lain muntah darah, tetapi anak tersebut tidak apa-apa. Paras anak itu menyerupai paras Sultan Mahmud Syah II (almarhum Mangkat Dijulang). Berita itu sampai kepada Raja Muda Riau dan anak itu dipanggilnya datang menghadap. Laksamana menjadi khawatir mendengar keadaan terakhir itu dan bermufakat dengan Temenggung dan raja Negara Selat. Karena yang membawa anak tersebut adalah Temenggung Muar dan sudah diketahui orang banyak, maka sangat bijaksana kalau yang membawanya ke luar dari Johor adalah orang lain pula. Nakhoda Mahn seorang saudagar Minangkabau menyatakan kesediaannya membawa anak tersebut. Laksamana setuju menitipkan anak tersebut supaya dijaga baik-baik, dan menerangkan keanehan dan keistimewaan tentang kelahiran dan pembesaran anak itu. Oleh Nakhoda Malin anak itu diberi nama Tuan Bujang. Mereka berlayar menuju Jambi terus memudiki Sungai Batanghari dan akhirnya sampai di istana Pagaruyung. Maharaja Minangkabau Yam Tuan Sakti menerima penjelasan mengenai anak itu dari Nakhoda Mahn, dan Baginda sangat tertarik
54 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
karena ketampanan si anak dan pembawaan dirajanya itu. Ibunda Yam Tuan Sakti yaitu putri Jamilan memelihara anak tersebut dengan penuh kasih sayang, seperti memehhara anak kandung sendiri. Setelah berumur 13 tahun, Tuan Bujang minta izin pergi ke Batang Hari untuk mencari ilmu dan pengalaman. Dia sampai di Rawas dan tiba di Palembang. Oleh Sultan Lumabang raja Palembang, dia dijadikan pembawa Tapak Sirih Diraja. Dia mengiring Sultan Lumabang datang ke Johor. Di Johor dia menjadi perhatian orang ramai karena parasnya yang serupa dengan almarhum Sultan Mahmud Syah IL Dari Johor, Sultan Lumabang beserta rombongan termasuk Raja Bujang, pergi ke Siantan, kemudian berangkat ke Bangka. Di sinilah Raja Bujang minta izin kepada Sultan Lumabang dan mudik ke hulu yaitu ke Rawas, kemudian dia mengawini puteri Dipati Batu Kucing, dan mendapatkan seorang putra yang diberi nama Raja Alam. Dari Rawas Raja Bujang berangkat ke Jambi dan mengabdi kepada Sultan Maharaja Dibatu. Raja Bujang terluka pahanya pada waktu ikut berperang melawan saudara sultan yang memberontak. Setelah sembuh Raja Bujang pulang ke Pagaruyung. Pemerintah Pagaruyung telah maklum akan maksud Raja Bujang, yaitu menuntut balas atas kematian ayahandanya dan mewarisi mahkota Johor. Dia dilepas dengan mengikuti semacam tes apakah dia beml anak Sultan Mahmud Syah II. Dia disuruh memegang sebatang kayu yang terbalut oleh teras tumbuhan jelatang^" dan dimahkotai oleh Yam Tuan Sakti sambil membacakan doa khusus kepada Allah Subhanahuwata'ala. Raja Bujang tidak rusak oleh getah Jelatang dan tidak kena tulah" mahkota. Dengan demikian orang Pagaruyung meyakininya bahwa dia memang anak seorang raja. Raja Bujang dikaruniai gelar Yam Dipertuan Kecil dan nama pribadinya dikenal sebagai Raja BeraUh. Pemerintah Pagaruyung membekali Raja Kecil berangkat ke Bukit Batu-Siak dengan sebilah pedang Saurajabe hadiah Raja Kuantan, sekapur sirih, seuntai rambut yang panjangnya 30 kaki, dua kuht kupang dan sebuah cap. Cap itu menerangkan bahwa pembawaannya adalah Raja Kecil putera pemerintah Pagaruyung dan semua orang Minangkabatt supaya memberikan bantuan. Hadiah lainnya ialah empat orang
Sejenis pohon yang cerdapat di Sumaieva liarar Pohon mi mempunj'ai gctah yang dapat nicnyebabkan l^eniatian b.lgi orang yang rnemegangnya. " Kutukan untuk rakyat biasa yang memakai mahkota diraja. Kiitukan ini bt.s.i rncnyebabkan sakit bagi si pcmnkai atau bahkan kematian.
55 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
hulubalang yaitu Datuk Lebinasi, Datuk Kerkaji, Raja Mandailmg dan Sultan Pakadalian. Di Bukit Batu-Siak Raja Kecil berniaga telur dan ikan terubuk. Raja Kecil berniaga dan berlayar ke Malaka dengan menggunakan kapal Nakhoda Penangkok. Setelah Raja Kecil merasa sudah saatnya untuk melakukan penyerbuan ke Johor, berulah dia mengeluarkan cap dan minta bantuan orang-orang Minangkabau dan perlengkapan di Bengkalis. Di Batu Bahara juga diminta bantuan yang sama sebagai persiapan menyerang Johor. Kepada pemimpin orang Bugis Daeng Parani, Raja Kecil juga minta bantuan. Daeng Perani setuju dengan syarat kalau serangan ke Johor itu berhasil, dia minta kedudukan sebagai yang Dipertuan Muda. Untuk itu Daeng Perani pergi ke Langkat mengumpulkan sejumlah orang Bugis memperkuat angkatan perangnya. Rencana Raja Kecil melanggar'- Johor sudah tersebar luas. Orang Laut di bawah pimpinan Raja Negara Salat mendukung rencana serangan itu dan langsung menemui Raja Kecil di Bengkalis. Pasukan Raja Kecil yang telah disiapkan bersama kapal-kapal Orang Laut berangkat menyeberang Johor tanpa perlu bantuan orang Bugis. Di Johor ternyata pembesar--pembesarnya termasuk Laksamana juga memberi dukungan sehingga meriam-meriam Johor telah diisi dengan air. Tidak ada perlawanan yang berarti, sehingga akhirnya pasukan Johor dapat dikalahkan dan Raja Kecil dinobatkan menjadi Raja Johor dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah pada tahun 1718. Kalau dibandingkan dengan Hikayat Siak dengan tulisan-tulisan lainya mengenai asal usul Raja Kecil ini, secara prinsip tidak ada perbedaan. E. Netcher menguraikan masalah itu tidak ada bedanya dengan uraian Hikayat Siak. Lintasan sejarah kerajaan Siak Sri Indrapura juga pada prinsipnya mempunyai pandangan yang sama, bahwa Raja Kecil anak Sultan Mahmud Syah II dengan istrinya Encik Pong. Perbedaan pandangannya yaitu dalam beberapa hal: Menurut Lintasan Sejarah Siak Sri Indrapura yang menyembunyikan Encik Pong adalah Nakhoda Mahn dan Encik Pong melahirkan anak di hutan. Ibu dan bayi dilarikaii ke Jambi dan terus ke Pagaruyung. Dipelihara di istana Pagar Ryung oleh Gadis Terus Mata. Waktu Raja Kecil berangkat ke Siak diiringi oleh 40 orang atau 20 orang atau 17 orang dengan hulubalang:
Melakukan pcnyei'buan.
56 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
1. Syamsuddin gelar Sri Perkirma Raja ( Datuk Tanah Datar). 2. Bebas gelar Sri Bejuangsa (Datuk Lima Puluh). 3. Syawal gelar Sri Dewa Raja (Datuk Pesisir). 4. Yahya gelar Maharaja Sri Wangsa (Datuk Hamba Raja). 5. Hamzah gelar Buyung Ancak (Putra Titah Sungai Tarab). Ketika menyeberang Johor, batin-batin di Bengkalis yaitu Batin Hitam di Senggaro, Batin Putih di Ketamputih dan Batin Tua di Bantan juga membantu Raja Kecil.'^ Begitu juga dengan Leonard Andaya^*, dia mengemukakan asal usul Raja Kecil tidak jauh berbeda dengan Hikayat Siak. Tetapi dia tidak menyebutkan bahwa batin-batin di BengkaUs ikut membantu Raja Kecil menyerang Johor. Raja Ali Haji dalam bukunya Tuhfat al Nafis juga mengemukakan informasi yang sama dengan Hikayat Siak tentang asal usul Raja Kecil. Tetapi ada beberapa hal yang perlu diberikan catatan mengenai pendapat Raja Ali Haji yaitu sekalipun beUau merujuk Hikayat Siak, tetapi kentara bahwa beHau antara percaya dengan tidak. Umpamanya mengenai Cap yang dibawa Raja Kecil dan waktu Raja Kecil diuji dengan getah Jelatang dan mahkota di Pagar Ryung, behau sengaja mencantumkan kata "konon" pada informasi tersebut. Hal lain yang perlu dicatat ialah, bahwa Raja Ah Haji sengaja meingidentifikasikan Raja Kecil dengan Minangkabau. Sedap aktivitas dan gerakan peperangan yang dilakukan oleh Raja Kecil disebut sebagai orang Minangkabau atau Minangkabau sebagai musuh Bugis. Dari karya penuhs-penulis tersebut di atas jelaslah bahwa mereka sependapat bahwa Raja Kecil itu adalah putra Sultan Mahmud Syah II dengan Encik Pong. Sekahpun kejadiannya diceritakan karena Encik Pong menelan sperma Sultan Mahmud Syah II, sesuatu yang sangat tidak masuk akal, akan tetapi mereka mengabaikan saja hal itu. Besar kemungkinan mereka menganggap bahwa cerita itu adalah hal yang biasa, karena dimaksudkan untuk memberikan kharisma kepada calon raja tersebut. Yang masuk akal ialah bahwa Sultan Mahmud Syah sebagaimana diceritakan, berada semalaman bersama Encik Pong dan beliau bergairah. Wajar kalau mereka mengadakan hubungan badan dan wajar pula kalau ada sperma yang melimpah ke luar. Tetapi justru sebaliknya, karena diceritakan bahwa Sultan Mahmud Syah II mempunyai isteri mahluk halus dan tidak bergairah
'^Tcnas i '.ffendi. Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura. 1972. i laM1. " !x:onard Andaya Y. Kerajaan Johor 1641-1728.
57 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
kepada perempuan serta kehamilan Encik Pong yang ddak wajar itu, maka timbul pendapat-pendapat lain. Umpamanya saja Raja Ali Haji, beliau ragu-ragu dengan kejadian Raja Kecil itu. Begitu pula halnya dengan Winstedt dan Diana Lewis yang pada pokoknya meragukan bahwa Raja Kecil adalah keturunan Sultan Mahmud Syah II. Tetapi sebaUknya mereka lebih beranggapan bahwa beliau adalah keturunan Mainangkabau. Alasannya ialah karena pada tahun 1745 (waktu berusia 45 tahun). Raja Kecil sudah sangat tua dan menderita penyakit gila.'^ Mereka menduga bahwa Raja kecil adalah pion Pagaruyung dalam upaya politis meluaskan pengaruhnya. Pada waktu Raja Kecil berkuasa di Johor, timbullah Issue baru yang mengatakan bahwa Raja Kecil bukan keturunan Sultan Mahmud Syah II, sebab ketika Encik Pong dipakai oleh Sultan itu, dia sudah hamil."" Issue ini menyebabkan goyahnya kepercayaan sebagian orang Melayu terhadap Raja Kecil. Peristiwa inilah yang menjadi inspirasi penulis-penulis lain, yang meragukan Raja Kecil adalah keturunan Sultan Mahmud Syah II. Namun kalau diteliti lebih dalam, secara subjektif orang Melayu yakin sekali bahwa Raja Kecil adalah Putra Sultan Mahmud Syah II. Keyakinan itu mereka nyatakan dalam perbuatan terutama pada masa persiapan dan masa penyerangan terhadap Johor. Sikap mereka itu tercermin dalam tindakan sebagai berikuf : 1. Orang Laut adalah pendukung yang sangat setia sultan-sultan keturunan Melaka sampai kepada masa Johor. Orang Laut adalah inti kekuatan dan bagian terbesar personal angkatan laut baik pada zaman Melaka maupun pada zaman Johor. Mereka adalah pengaman dan pengawal maritim dan perdagangan kesultanan Melayu itu. Rajaraja Melayu juga sangat mempercayai mereka. Ketika Encip Pong melahirkan putra Sultan Mahmud Syah II, maka raja Negara Selat yaitu kepala Orang Laut yang menyelamatkan bayi yang "berharga" itu ke Muar, dan dipehhara selama tujuh tahun oleh Temenggung Muar. Kalau bayi itu bukan putra Sultan Mahmud Syah II keturunan Melaka, tentu raja Negara Selat tidak akan mau mengambil resiko sebesar itu. 2. Orang Melayu dan batin-batin di Bengkalis sangat percaya bahwa Raja Kecil adalah keturunan Sultan Mahmud Syah II. Mereka
Muhammad Yususf Hashim. Ktsultanan Melayu Melaka. 1989. Hal 711. Daiam keyakinan masyarakat Melayu. apabila seorang rakyat jefata mengangkat dtrinya meniadt seorang Raja, maka hidupnya tidak akan damai Di akhiv hayatnya la akan mendenta penyakit yang memalukan seperti gtla. "• .Arena Mati. .Silsilah Melayu dan liuj^s. 197.3. I lal 4.3.
58 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
serta merta membantu Raja Kecil untuk merebut Johor. 3. Pada saatnya Raja Kecil akan menyerang Johor, Raja Negara Selat yaitu kepala Orang Laut datang langsung ke Bengkalis menemui Raja Kecil untuk menyertainya menyerang Johor. Mereka berangkat bersama Raja Kecil menyerbu Johor. Hal ini membuktikan bahwa Raja Negara Selat mengetahui betul siapa Raja Kecil yaitu Putra Mahkota Mangkat Dijulang (Sultan Mahmud Syah II). 4. Begitu Raja Kecil mendarat dan memulai peperangan di Johor, tidak ada perlawanan yang berarti dihadapinya. Orang kaya telah banyak yang memihak Raja Kecil termasuk Laksamana, kepala angkatan laut kerajaan Johor sendiri. Meriam-meriam telah diisi air dan ditinggalkan oleh hulubalangnya, dan kalau ada anggota yang setia kepada Raja Johor, meriam-meriam itu tidak dapat ditembakkan lagi. Johor yang besar tidak dapat bertahan dan kalah dalam waktu sehari, karena yang datang adalah Raja Kecil pewaris tahta yang sah kerajaan Johor. Itulah rasanya jawaban yang tepat dan itulah keputusan orang kaya-orang kaya Johor sebagai perwujudan keyakinan hati nuranmya. Kalau bukan karena keyakinan mereka bahwa Raja Kecil adalah keturunan Sultan Mahmud Syah II, tidak m^ungkin mereka akan semudah itu berbahk mendukung Raja Kecil dan menyerahkan Johor yang telah dibina selama ±107 tahun. 5. Raja Kecil saat berusia 13 tahun diberikan izin oleh penguasa Pagar Ruyung untuk mengembara ke luar daerah kekuasaannya yaitu Jambi, Rawas, Palembang, Johor, Siantar dan Bangka. Bahkan dia melibatkan diri dalam beberapa peperangan, suatu pengembaraan yang penuh resiko. Rasanya tidaklah masuk akal kalau Raja Pagar Ruyung mau memberikan pengalaman yang beresiko itu kepada Raja Kecil, kalau Raja Kecil itu adalah seorang Putra Mahkota Pagaruyung. Sebab seorang putera bangsawan yang potensial untuk dipromosikan sebagai raja, justru akan dijaga dan diamankan sebaikbaiknya. Oleh karena itu sikap yang logis yang merupakan kebijaksanaan penguasa Pagaruyung mengizinkan Raja Kecil untuk mengembara mencari pengetahuan dan pengalaman sebagai kesatria yang dipersiapkan untuk merebut mahkota ayahanda di Johor.
Raja Kecil betkuasa di Johor Sultan Abdul JaUl Ra'yat Syah IV telah mengaku kalah dan
59 Jumal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
Raja Kecil memberinya pengampunan. Raja Kecil tetap menghormatinya sebagai Orang Besar, dan berjanji akan mengangkatnya dalam jabatan yang pernah dipangkunya dulu, yaitu menjadi Bendahara. Sementara Raja Kecil memetik kemenangan dari penaklukan Johor, dari pihak yang dikalahkan senantiasa mencari jalan agar dapat merebut kembali tampuk pemerintahan kerajaan Johor. Kedatangan Upu-upu bersaudara dari suku Bugis untuk berkunjung menemui penguasa baru di Johor, sekaligus dipergunakan untuk bertemu dengan Raja Sulaiman bersaudara, dan mereka memang sedang mencari tempat untuk bernaung dari pengembaraan yang tidak henti-hentinya. Tengku Tengah'' yang sudah merasa dihina karena Raja Kecil lebih tertarik pada Tengku Kamariah dan sudah mengawininya, padahal sebelumnya sudah bertunangan dengan Tengku Tengah. Tengku Tengah membuat kesepakan dengan Daeng Perani bahwa dia bersedia menjadi budak sekalipun, asal dapat mengembalikan Johor ke pihaknya."* Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Raja Kecil telah dua kah melakukan kesalahan dalam pemerintahannya. Pertama, Sesuai dengan janji Raja Kecil, bekas Sultan Johor itu (Sultan Abdul Jahl Riayat Syah IV) dikembahkan pada kedudukannya semula yaitu Bendahara Johor. Hal ini barangkali untuk menghindari kemungkinan balas dendam dari bekas Sultan tersebut. Dan perhitungan inilah yang kurang tepat dilakukan Raja Kecil, karena telah memberi peluang bagi bekas Sultan itu mengadakan persekongkolan di kalangan pihak istana yang masih belum dapat menerima kehadiran Raja Kecil sebagai penguasa yang baru. Kedua, adalah karena Raja Kecil memutuskan pertunangannya dengan Tengku Tengah. Pertemuan antara dua kepentingan yaitu Upu-upu Bugis yang ingin memasuki istana Johor dan pihak bekas Sultan Johor yang sedang berusaha untuk mengembalikan kekuasaannya sebagai semula, dikuatkan lagi dengan dilangsungkannya perkawinan Tengku Tengah dengan Daeng Perani meningkatkan tantangan terhadap Raja Kecil. Raja Kecil merasa tidak senang melihat Upu-upu Bugis itu tinggal lama-lama di negeri Johor, dan mereka menjadi tamu Tengku Tengah dan saudaranya Raja Sulaiman. Namun Raja Kecil belum mengambil tindakan. Setelah Tengku Tengah menyuruh orang
' i)atuk Bendahara mempunyai tiga orang anak yaini : Tengku Sulaiman, iengku Tengah dan 'lengku Kamanah. "H. B, Adil. Sejarah Johoi. 198(1 I lal 1118.
60 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
orangnya menculik adiknya Tengku Kamariah dari istana Raja Kecil langsung dibawa ke istana ayah mereka", barulah Raja Kecil bertindak dan mengirim pasukannya menyerang kedudukan bekas Sultan Johor di perbentengan Seluyut pada tahun 1719. Untuk sementara Raja Kecil memenangkan peperangan dan bekas Sultan dengan anak—anaknya mengundurkan diri ke Pahang. Raja KecH mengambil keputusan pindah ke kerajaan Johor-Riau.^" Ada beberapa alasan yang menyebabkan Raja Kecil pindah ke Riau. Pertama, karena adanya fitnah yang sudah berkembatig bahwa Raja Kecil itu bukan anak Sultan Mahmud Syah II. Berita ini disebarluaskan oleh pihak Sultan Abdul Jalil Puayat Syah IV Raja Johor yang sudah dimakzulkan^' itu. Kedua, tindakan Tengku Tengah yang menculik Tengku Kamariah pada waktu Raja Kecil sedang melakukan shalat. Ketiga, tingkah laku isterinya yang mencerminkan sikap acuh tak acuh terhadap Raja Kecil, padahal Raja Kecil sangat mencintai Tengku Kamariah. Tengku Kamariah sampai hati meninggalkan suaminya menurutkan kehendak saudara-saudaranya pergi ke Trenggano dan kemudian menetap di Pahang. Peristiwa ini menimbulkan emosi Raja Kecil sendiri sehingga terucap dari mulutnya, " Ini negeri celaka. Baik kita pindah ke Riau".^^ Sejak itu Raja Kecil berkemas-kemas^^ dengan orang-orang besarnya yang setia dan pindah ke Riau. Di Riau (Bintan) Raja Kecil membangun istana berbunga lawangan emas (berhiaskan pintu berukir emas), dan dari tempat inilah beliau mengendalikan pemerintahan kerajaan Johor. Datuk Bendahara mengangkat dirinya menjadi Raja dan mendirikan ibukota kerajaan di Pahang dan mengangkat adiknya Tun Abdul Jamal sebagai Bendahara. Dia juga telah melakukan perjalanan ke Pulau Aur, Pulau Tinggi dan Pulau Teoman dan rakyat Melayu di pulau--pulau itu masih taat kepadanya. Di Trenggano seorang saudaranya seayah bernama Tun Zainal Abidin diberinya gelar Paduka Maharaja. Situasi ini memperUhatkan bahwa bekas Sultan Johor itu masih melakukan kegiatan konsoHdasi pemerintahan Johor Riau. Hal ini menimbulkan duahsme dalam pemerintahan kerajaan Johor-Riau
" Rumah kediaman Datuk Bendahara di Trenggano. -" H. n. Adil. .Sejarahjohor 1D8I1. Hal 1119. ^' Diberhentikan. " Raja Ali Haji. Tuhfat al Nafis. 1965. Hal 48. " liersiap-siap untuk melakukan suatu perjalanan.
61 Jumal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
karena terdapat dua pemerintahan, pertama berpusat di Riau dan yang kedua berpusat di Pahang. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan oleh Raja Kecil. Untuk mengatasi masalah tersebut, secara kekeluargaan dia mengundang mertuanya dan istrinya untuk datang ke Riau dengan mengirim orangorang kepercayaannya, yaitu Laksamana Nakhoda Sekam beserta kelengkapan perangnya. Nakhoda Sekam berangkat ke Pahang dengan suatu pesan yang agak keras, yaitu bila bekas Sultan Johor tidak mau datang secara baik-baik dia harus dibawa secara paksa. Setibanya Laksamana Nakhoda Sekam di Pahang, dengan hormat dan takzim menyampaikan pesan Raja Kecil, ternyata bekas Sultan itu menolaknya untuk datang ke Riau. Akhirnya terjadi perang antara pasukan Nakhoda Sekam dengan pasukan bekas Sultan Johor. Dalam. peperangan itu Johor dapat dikalahkan. Barulah kemudian, setelah dipersilahkan sekali lagi oleh Nakhoda Sekam agar memenuhi undangan tersebut, beliau beserta putra-putranya mau berangkat ke Riau. Sesaat menjelang keberangkatannya, datang seorang utuasan Raja Kecil dari Riau yang bernama Mas Radin membawa sepucuk surat Raja Kecil, yang ditujukan kepada Nakhoda Sekam. Surat itu berbunyi: "Janganlah Sultan Abudl Jalil itu dibawa ke Riau lagi, bunuhlah saja, kita tahu matinya saja"^" Setelah membaca surat tersebut, Nakhoda Sekam berada dalam suatu posisi terjepit antara melanjutkan pesan yang terdahulu, atau melaksanakan titah yang baru diterima, yaitu membunuh bekas Sultan. Takut akan melanggar daulat^^ Raja Kecil, maka dia melaksanakan titah terakhir. Dia menyuruh beberapa orang pengikutnya mengamuk^'' di atas Lancang^' itu dan membunuh bekas sultan tersebut, sehingga pembunuhan itu seolah-olah akibat suatu amukan. Setelah beramuk beberapa lama, maka bekas Sultan itupun jatuh dengan berlumuran darah dan akhirnya meninggal dunia. Tengku Tengah maju untuk membela ayahnya, tetapi sudah terlambat. Ketika pengamuk hendak meneruskan amukannya pada Tengku Tengah, saat itu Nakhoda Sekam berteriak : "Jangan engkau lawan anak raja perempuan itu, nanti engkau semua dibunuh oleh baginda Raja Kecil, dihumban'" rumah
-Ml. li Ad.l SciarahJohor. IMll. iial Illi Pcrkataan seorang Raja vang dijadikan sebagai hukum )'ang tidak boleh dilanggar. Bcrkelahi • .Se)enis kapal yang digunakan untuk perjalanan jaiih seperti peiahu bercadtk. •'" Dibinasakan. "Istn
62 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
tangga engkau dan anak binP' engkau". Mendengar hardikan Nakhoda Sekam maka orang- orangnya pun berhenti mengamuk. Tengku Tengah beserta pengikutnya yang ada dalam perahu tersebut bertangisan dan baru dapat dilerai setelah Nakhoda Sekam memohon untuk memandikan mayat baginda untuk dikebumikan.^-' Mayat bekas raja itu dimakamkan di Kuala Pahang dan digelar Marhum Mangkat di Kuala Pahang. Sesudah pemakaman, Nakhoda Sekam berlayar ke Riau membawa anak Datuk Bendahara itu dan mempersembahkan kepada Raja Kecil. Pada tahun 1721, Raja Sulaiman yang seakan-akan menjadi tawanan Raja Kecil di Riau (Bintan) mengirim surat kepada Upu-upu Bugis lima bersaudara di Matan (Kalimantan), dan menceritakan keadaannya adik beradik selama berada di bawah perintah Raja Kecil. Setelah menerima surat dari Raja Sulaiman, Upu-upu Bugis itu dengan penuh kemarahan berangkat dengan suatu perlengkapan perang tujuh buah perahu besar dan beberapa buah perab.u kecil serta lebih kurang seribu orang ahh perang Bugis. Setelah sampai di Riau terjadilah perang dengan pihak Raja Kecil. Peperangan itu telah berlangsung di perairan Riau di tempat-tempat yang bernama Pulau Penghujan, Pulau Bayan, Pulau Penyengat dan Tanjung Bemban." Setelah berperang selama kurang lebih dua hari Raja Kecil mundur ke Lingga, karena kurang yakin dapat menangkis serangan gabungan angkatan perang Melayu-Bugis itu. Raja Kecil kemudian pergi ke Siak untuk mendirikan kerajaan yang baru di sebuah tempat yang bernama Buantan. Dengan demikian berakhirlah peranan Raja Kecil sebagai Sultan Riau-Johor yang telah dipegangnya lebih kurang empat tahun.
Raja Kecil Raja Siak Pertama Setelah Raja Kecil mengudurkan diri dari Johor-Riau dan mendirikan kerajaan di Siak, dalam pemerintahannya behau memberikan posisi yang penting kepada pengikut-pengikutnya yang setia yang berasal dari Minangkabau. Mereka tergabung dalam suatu Dewan Orang Besar Kerajaan. Tetapi terhhat dalam perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura terutama dalam bidang sosial budaya, nilai-nilai atau unsur-unsurnya adalah budaya Melayu. Bahasa yang berkembang adalah
Raja All Haji. Tuhfat .il Nafis. 1965 Hal 511. " Raja All Ha)i. Tuhfat al Nafis. 1965. Hal 52.
63 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
bahasa Melayu, adat istiadat adalah adat Melayu. Kepala suku yang berasal dari Minangkabau (Datuk Tanah Datar, Datuk Limapuluh, Datuk Pesisir dan Datuk Kampar) tidak punya tanah ulayat. Mereka hanya pembesar di pusat pemerintahan dan kerajaan. Sultan Abdul Jahl Rakhmat Syah (1723-1746) mempunyai kekuasaan daerah yang meUputi Perbatinan Gasib, Perbatinan Senapelan, Perbatinan Sejaleh, Perbatinan Perawang. Perbatinan Sakai, Perbatinan Petalang, Perbatinan Tebing Tinggi, Perbatinan Senggoro, Perbatinan Merbau, Perbatinan Ransang, Kepenghuluan Siak Kecil, Kepenghuluan Siak Besar, Kepenghuluan Rempak dan Kepenghuluan Betung. Di Siak, Raja Kecil memihh tempat bersemayam di suatu tempat yang bernama Buantan di tepi sungai Siak beberapa kilometer di hilir kota Siak sekarang ini. Di situlah didirikan istana, Balairung Sari dan kubu pertahanan yang menandai berdirinya secara resmi Kerajaan Siak Sri Indrapura pada tahun 1723. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah melakukan konsohdasi dalam bidang pemerintahan, militer, dan memperbaiki perekonomian untuk meneruskan perjuangan menentang monopoli Belanda dan menentang Bugis. Konsohdasi dalam bidang pemerintahan diusahakan Sultan dengan mengatur pemerintahan yang kuat dan baik.^^ Sultan sebagai pemegang pucuk pemerintahan tertinggi didampingi oleh Dewan Kerajaan. Dewan Kerajaan terdiri atas orangorang besar kerajaan yang berfungsi sebagai pelaksana pemerintahan dan penasehat utama Sultan. Orang-orang besar itu adalah: 1. Datuk Lima Puluh dengan gelar Sri Bejuangsa. 2. Datuk Tanah Datar dengan gelar Sri Pekerma Raja. 3. Datuk Pesisir dengan gelar Maharaja Ketuangsa." 4. Datuk Laksamana Raja Di Laut. Di samping itu ada pula pembesar-pembesar kerajaan yang bertugas membantu Sultan yang anggotanya terdiri atas Panglima Perang, Datuk Hamba Raja, Datuk Bintara Kiri, Datuk Bintara Kanan, dan Datuk Bendahara. Pemerintahan di daerah-daerali dipegang oleh Kepala Suku yang bergelar Penghulu, Orang Kaya, dan Batin. Penghulu, Orang Kaya dan Batin sama tingkatnya. Penghulu tidak mempunyai hutan tanah.
"Tim LNRI. .Scjiirah Riau; Masa KoUinlalismc Hingga Kemerdekaan Rl, 20(16, Hal 58. ^' Selam bergelar Maharaja Ketuangsa, Datuk Pesisir juga bergelar Sn Dewa Ra|a. .'\hmad Yusut .Sultan Syanf Kasini (I. I lal 42
64 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
Penghulu dibantu oleh: a. Sangko Penghulu, yakni Wakil Penghulu. b. Mahm Penghulu, yakni pembantu urusan kepercayaan/agama. c. Lelo Penghulu, pembantu urusan adat dan sekaligus berfungsi sebagai Hulubalang. Batin dan Orang Kaya adalah orang yang mengepalai suku ash. Jabatan ini didapat turun-temurun. Batin mempunyai hutan tanah (ulayat). Batin dibantu oleh: a. Tongkat, pembantu Batin dalam urusan yang menyangkut kewajiban-kewajiban terhadap Sultan. b. Monti, pembantu Batin urusan adat. c. Antan-antan, pembantu Batin yang sewaktu-waktu dapat mewakih Tongkat atau Monti kalau keduanya berhalangan.^'' Sultan Abdul Jahl Rahmat Syah, mempunyai tiga orang putra, seorang diantaranya mati muda yaitu Tengku Tengah dan yang lainnya adalah: 1. Tengku Alam, diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda, ibunya bernama Encik Kecil Jambi anak Dipati Bam Kucing. 2. Tengku Buang Asmara Putra Mahkota, Ibunya bernama Tengku Mahbungsu yang masa gadisnya bernama Tengku Kamariah, putri Sultan Abdul Jahl Riayat Syah IV. Pada tahun 1723 terjadi perselisihan di Kerajaan Kedah antara dua kakak beradik yaitu Yam Tuan Tua (Raja Kedah) dengan adiknya Yam Tuan Muda. Yam Tuan Muda minta bantuan kepada Raja Kecil sedangkan Yam Tuan Tua minta bantuan kepada Daeng Perani dari Bintan. Dalam suatu peperangan Daeng Perani tertembak dadanya oleh pihak Raja Kecil. Kematian Daeng Perani ini menyebabkan semangat pihak Bugis di bawah pimpinan adiknya Daeng Marewah makin bergejolak untuk meneruskan peperangan dalam melawan Raja Kecil. Situasi ini tidak menguntungkan pihak Raja Kecil yang akhirnya mengudurkan diri kembah ke Siak. Tetapi bagaimanapun juga Raja Kecil telah berusaha untuk memanfaatkan kesempatan ini dalam menanamkan pengaruhnya di Kedah. Kesediaan Raja Kecil membantu Yam Tuan Muda Kedah untuk menentang Yam Tuah Tua mengandung maksud tertentu, karena ia ingin memperoleh dukungan dalam upaya merebut kembali kerajaan Johor-Riau. Raja Kecil tak pernah putus
^ lim UNRl. Sciarah Riau; Masa Kolonial.smc I lingga Kcmtrdekaan RI. 201 Irt. Hal 58-59.
65 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
asa, pada tahun 1724 ia datang lagi untuk menyerang kedudukan pusat kerajaan Johor-Riau di Bintan, tetapi juga tidak berhasil. Percobaan penyerangan seperti ini terus dilakukan bila ada kesempatan, walaupun kenyataan lawannya bertambah kuat karena pengangkatan Ketua Bugis sebagai Yam Tuan Muda dalam kerajaan Johor-Riau, lebih mengokohkan persekutuan antara pihak Sultan Sulaiman dan Upu-upu Bugis itu. Kedatangan Raja Kecil berikutnya bersifat diplomasi, membawa perdamaian dalam rangka kepentingan keluarga, hendak mengambil isterinya Tengku Kamariah. Pada masa itu Raja Kecil telah bersumpah dalam masjid, bahwa tidak akan menyerang Bintan lagi dan mengembahkan semua daerah taklukan kerajaan Johor-Riau kepada Sultan Sulaiman. Kemudian Raja Kecil kembali ke Siak membawa isterinya Tengku Kamariah dan sesampai di Siak Tengku Kamariah diangkat menjadi permaisuri. Dari Tengku Kamariah Raja Kecil memperoleh putera bernama Raja Mahmud, disebut juga Raja Buang.•'^ Pada tahun 1726 Raja Kecil melanggar sumpahnya dengan melakukan penyerangan ke Riau. Angkatan perang Riau itu dipimpin Kelana Jaya Putera. Kubu pertahanan Raja Kecil berada di Pulau Gayan. Setelah berperang selama dua hari, Raja Kecil mengalami kekalahan dan mengundurkan diri ke Siak. Pada tahun 1736 (1149 H) anak tertua Raja Kecil yang bernama Tengku Alamuddin menyerang Riau, namun terpaksa kembah ke Siak dengan berita yang mengecewakan ayahnya. Terjadi perbedaan pendapat di antara kedua anak Raja Kecil dalam menentukan siapa yang akan menggantikan ayahandanya jika sudah tidak dapat lagi memegang pemerintahan di kerajaan Siak Sri Indrapura, karena pada waktu itu Raja Kecil sudah mulai sakit-sakitan. Tengku Alamuddin mengemukakan alasan karena dia anak yang tertua dan sudah lama mendampingi ayahnya dalam peperangan melawan Belanda dan Bugis, karena itu sepatutnya dia menjadi raja. Sebahknya Tengku Buang mengemukakan alasan bahwa dia adalah putera mahkota, sebab ibunya adalah Tengku Kamariah yang menjadi permaisuri kerajaan Siak Sri Indrapura. Akibat tidak ada yang mau mengalah akhirnya timbul perang antara Tengku Alam dengan pendukungnya melawan Tengku Buang dengan pendukangnya pula. Tengku Buang lebih banyak pendukungnya, maka dia yang keluar
"It, B. Ad.l, .Sqarah Johor. 1980. Mai 117.
66 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
sebagai pemenang. Perselisihan antara kedua raja tersebut telah mengakibatkan makin memburuknya kesehatan Raja Kecil. Tidak beberapa lama sesudah perang saudara tersebut, Tengku Kamariah pun meninggal dunia. Dengan demikian bertambah lengkaplah kesedihan yang diderita Pendiri Kerajaan Siak Sri Indrapura itu. Raja Kecil akhirnya mangkat di Buantan pada tahun 1765 dan diberi gelar Marhum Buantan.
KESIMPULAN Raja Kecil adalah putra Sultan Mahmud Syah II dari salah seorang seUrnya. Untuk menghindari kemelut yang terjadi di kerajaan Riau-Johor, maka Raja Kecil dibesarkan di Pagar Pv.uyung. Setelah berhasil menguasai kerajaan Riau-Johor, Raja Kecil memindahkan pusat pemerintahan ke Riau Lingga. Karena tidak berhasil mengalahkan kekuatan Melayu-Bugis akhirnya Raja Kecil meninggalkan daerah Riau-Lingga dan mendirikan kerajaan Siak Sri Indrapura.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Yusuf (1992), Sultan Sjiarif Kasim 11; Raja Terakhir Kerajaan Siak. Sri Indrapura (Pemerintahan, Perjuangan, Warisan). Pemerintah Daerah Provinsi Riau, Pekanbaru. Ahmad Yatim (1989), Inventarisasi Benda-benda Kokksi Bersejarah dalam Istana Siak Sri Indrapura, Mimeo, Pekanbaru. Andaya Leonard Yang (1987). Kerajaan Johor 1641-1728, Diterjemahkan oleh Shamsuddin Jaafar, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur. A. Samad Ahmad (1985), Kerajaan Johor-Riau, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, Kualaltimpur. Burger (1960), Sejarah Ekonomi Sosiologi Indonesia. Jilid I, Pradnya Paramita, Jakarta. D. G. E. Hall (1973), Sejarah Asia Tenggara, Diterjemahkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, Kualalumpur. Leur. |. C. Van (1955), Indonesian Trade Society. W. Van Hoeve Ltd, The Hague, Bandung. M. Yusuf Hashim (1989), Kesultanan Melayu Melaka, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, Kualalumpur.
67 Jurnal llmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial
O. K. Nizami Jamil (1988), Sultan Syarif Kasim 11 Dengan Rela Meletakkan Mahkota Kerajaan Siak Demi Perjuangan Bangsa Indonesia, Mimeo, Makalah Diajukan Pada Semiiiar di Medan. Raja Ali Haji Riau (1965), Tuhfat Al Nafis, Malaysia Pubhcation Ltd, Singapura. N. J. Ryan (1966), Sejarah Semenanjung Tanah Melayu, Diterjemahkan oleh Daud Bahrum, Oxford Universit)' Press, Kualalumpur. Wan Gahb (1979), Siapa Pewaris Kerajaan Siak, Mimeo, Pekanbar
Tengku Buang Asmara
Sultan Abdul Jalil Muhammad Muzaffar Syah
(sultan siak 2)(marhum pura besar) (1746m-1765m)
 
Sebagai pengganti Raja Kecik, Dewan Kerajaan atau dan Datuk 4 suku berdasarkan wasiat Raja Kecik melantik Raja Buwang dengan gelar Sultan Muhammad Mahmud Abdul Jalil Muzaffar Syah sebagai sultan kedua kerajaan Siak. Pelantikan Raja Buwang mendapat sokongan dari Raja Minangkabau. Sultan kedua ini nama kecilnya adalah Tengku Muhammad dan dikenal juga dengan Raja Buwang. Raja Buwang adalah anak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah dari isteri yang bernama Tengku Kamariah. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah memiliki dua orang putera. Putera pertama diberi nama Raja Alam merupakan anak dengan isteri yang dinikahi di daerah Musi Rawas Palembang. Perempuan tersebut adalah anak dari seorang Dipati Batu Kucing Palembang. Raja Alam lahir ketika Raja Kecik sedang melakukan perjalanan ke luar daerah ke negeri Palembang untuk mencari bantuan dari orang Palembang untuk menyerang Johor sambil menimba ilmu dan pengetahuan. Dalam perantauan itulah Raja Kecik memperoleh seorang anak laki-laki dan setelah menjadi sultan, maka anak lelaki itu ikut bersamanya. Itulah sebabnya anak yang terlahir dari isteri pertamanya itu diberi nama dengan kata “Raja” mengikuti namanya. Sedangkan Tengku Muhammad Mahmud adalah anak lelaki dari isterinya yang bernama Tengku Kamariah. Tengku Kamariah adalah salah seorang anak perempuan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV yakni Sultan Johor ke -11. Itu pula sebabnya diberi nama dengan kata “Tengku” karena cucu Sultan Johor.
Mengenai kedua anak lelaki Raja Kecik tersebut, di dalam Syair Perang Siak23 secara jelas dituliskan mulai dari bait 70 hingga bait 81, diantaranya tertulis sebagai berikut . Itulah kisah usul mangindra Bagindapun sudah berputera Dua orang sama setara Yang seteru tidak bertara
Sudah berdaulat paduka anakanda Menaruh cemburu sama muda Sangatlah suka paduka ayahanda Serta dengan anom berida
Sukanya bukan sebarang-barang Laksana bunga kembang dikarang Melihatkan putera yang dua orang Cahaya yang kelam menjadi terang24
            Apabila dicermati kandungan syair di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Raja Kecik lebih menyayangi anak lelaki yang kedua yakni anak yang lahir dari rahim Tengku Kamariah. Sebagaimana yang tertulis di dalam Hikayat Siak bahwa Tengku Kamariah ini adalah anak perempuan terkecil dari Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV yang dipinang oleh Raja Kecik. Adapun Tengku Muhammad dikenali pula dengan nama timang-timang baginda yaitu Tengku Buwang Asmara. Mengenai nama timang-timang tersebut tidak banyak diceritakan, akan tetapi jusru nama timang-timang itulah yang dikenal oleh masyarakat Siak sehingga kini.             Ketika terjadi penabalan Tengku Muhammad sebagai Sultan kerajaan Siak ke II, Raja Alam sebagai putera tertua merasa tersinggung karena belum mendapatkan kepercayaan dari paduka Ayahanda Raja Kecik sehingga beliau meninggalkan negeri Siak dan pergi ke Palembang, Johor, Kalimantan, Siantan, dan hidup berlanglang buana (merayau) di Selat Malaka.             Selama pemerintahan Sultan Muhammad yang bermula dari tahun 1746 sampai tahun 1760,  beliau banyak mendapat rintangan dan halangan terutama di bidang perdagangan dan penindasan kepada rakyatnya oleh kompeni Belanda yang berpusat di Melaka. Sedangkan di dalam negeri pada tahun 1748 terjadi pertikaian dengan Raja Alam sehingga terjadi perang saudara.
Sultan Muhammad dapat dikalahkan oleh Raja Alam, kemudian Sultan Muhammad undur ke Riau dan meminta bantuan pamannya Tengku Sulaiman Badrul Alamsyah untuk menghalau Raja Alam dari Siak. Dengan persetujuan Sultan Terengganu, Tengku Sulaiman dengan angkatan perangnya dapat menyelesaikan masalah sengketa dua bersaudara ini sehingga Raja Alam belum sempat ditabalkan untuk menjadi sultan Siak. Dalam penyelesaian sengketa antara dua bersaudara ini. Daeng Kamboja tidak menyetujui memberi bantuan dengan alasan mereka bertikai antara mereka berdua bersaudara. __________________________________ 23 Syair Perang Siak telah dianalisis oleh Donald J. Goudie dan diterbitkan oleh The Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society pada tahun 1996. 24 Bait 70 - 73             Dengan bantuan Sultan Sulaiman dari Riau, Sultan Muhammad Mahmud kembali menduduki tahta kerajaan Siak. Sedangkan Raja Alam mengundurkan diri dan masuk hutan lalu pergi ke Minangkabau minta perlindungan, kemudian pergi ke Batu Bara. Merasa tidak aman di Batu Bara beliau pergi pula ke Siantan di lautan Cina Selatan. Di situ Raja Alam kembali menjadi perampok lanun dan merampok kapal-kapal kompeni yang melintas di Laut Cina Selatan. Kompeni Belanda yang berpusat di Batavia dan Melaka membuat peraturan sewenang-wenang terhadap kawasan kerajaan Johor dan kerajaan Siak. Siak adalah pusat perdagangan yang sangat strategis jika dibandingkan dengan tempat yang lainnya, yang mendatangkan barang-barang dagangan dari jantung pulau Sumatera, seperti emas, timah, lada dan hasil hutan lainnya yang dapat membuat Melaka menjadi terkemuka, karena terletak lurus dan hanya satu hari pelayaran dari sungai Siak ke Melaka.25 Semua kapal-kapal asing yang datang dari barat tidak dibenarkan berdagang candu, timah dan lada termasuk pula pedagang dari benggala. Kalau kapal-kapal tersebut tiba di Melaka harus diperiksa dengan teliti dan tidak diizinkan berlayar ke sebelah timur Melaka termasuk ke negeri Siak. Sedangkan yang dibenarkan masuk ke Siak adalah hanya penduduk Melaka dengan mendapat izin dari Kompeni Belanda bebas berlayar berniaga ke Siak. Dengan demikian semua pedagang dari Jawa, Makasar, Siam, Cina dengan alasan apapun tidak dibolehkan masuk ke Siak.             Ketentuan dan peraturan yang dibuat kompeni Belanda menimbulkan rasa tidak puas dari penduduk Siak. Jika mereka tidak dapat berniaga dan berlayar, satu-satunya jalan terbuka bagi mereka hanyalah melakukan kekerasan dengan melakukan perampokan kepada
kapal-kapal kompeni dan pedagang-pedagang yang lewat di Selat Melaka. Hal yang demikian itu membuat Sultan Muhammad marah dan ikut mendukung kegiatan tersebut dengan mempersiapkan kekuatan dan mempergunakan siasat dan taktik strategi beliau yakni mengerahkan angkatan perangnya guna menghadang kapal kompeni dan pedagangpedagang Siam dan Cina di Selat Melaka. Barang-barang dagangan dipindahkan ke kapal mereka, bahkan kapal yang dirampok itu anak buahnya dibunuh dan kapal pun diseret dibawa masuk ke dalam sungai Siak. Kejadian seperti ini sering terjadi sehingga kompeni Belanda melaporkan kepada pemerintahnya yang tertinggi di Batavia yang tidak dapat berbuat banyak, karena hal ini terjadi di mana-mana di sepanjang Selat Melaka dan laut cina Selatan secara serentak melakukan penghadangan kepada kompeni Belanda oleh askar Raja Alam bersama dengan orang Bugis anak buah Daeng Kemboja.
__________________________________ 25Netscher,  19 , hlm. 164
            Pusat pemerintahan Belanda di Batavia membuat surat kepada Kompeni Belanda di Melaka pada tanggal 15 Oktober 1758 yang isinya bahwa Pos Belanda di Pulau Guntung ditunda penghapusannya. Hal ini bagi Sultan Muhammad Mahmud tidak ada masalah dan tidak dirisaukannya karena pada suatu saat Pos Kompeni di Pulau Guntung akan dihancurkan oleh Sultan Muhammad Mahmud. Selanjutnya Gubernur Belanda di Melaka menyampaikan surat kepada kompeni Belanda bahwa masalah larangan berniaga ke negeri Siak tidak perlu dilakukan akan tetapi anjuran ini tidak diperhatikan oleh komandan kompeni Belanda yang bernama Hansen.             Peristiwa perampokan ini sangat merisaukan para petinggi Belanda di Batavia maupun Melaka sehingga Gubernur Belanda di Melaka membuat surat peringatan agar supaya Sultan Mahmud dapat menghentikan kegiatannya sebagai perampok di selat Melaka. Kalau Sultan tidak memperdulikan peringatan tersebut, maka wilayah kekuasaannya dikurangi. Tetapi Gubernur Belanda tidak dapat berbuat apa-apa malah tidak memberi pertimbangan.             Jika usaha ini gagal, Raja Terengganu yang pada saat itu memegang pemerintahan di Johor akan membicarakannya bersama kompeni Belanda dan mengatakan bahwa Raja Alam telah mengaku setia
pada Johor. Raja Alam mempunyai kecakapan sehingga dapat digunakan sebagai alat tangguh untuk menghukum Sultan Muhammad dari Siak yang dianggap tidak berterima kasih dan terang-terangan melakukan kejahatan dan kepalsuannya. Dipihak lain, Pemerintah Tinggi Belanda di Batavia berusaha dengan daya upaya bagaimana caranya untuk melumpuhkan kekuatan Sultan Muhammad yakni, dengan cara mengundang Raja Alam ke Melaka pada tanggal 21 Desember 1759 membujuk Raja Alam untuk dapat membantu kompeni menyerang Sultan Muhammad. Sultan Muhammad semakin keras hatinya bagaikan baja. Memang tidak salah pilih ayahandanya menjadikan Sultan Muhammad sebagai gantinya dan memberikan kehormatan kepadanya untuk memimpin Kerajaan Siak. Beliau teruskan perjuangan ayahandanya Raja Kecik untuk memberi kemakmuran kepada rakyatnya. Pada bulan Juli 1759 pemerintah Belanda di Melaka mengurangi tentaranya di pulau Guntung, dari 36 orang dikurangi menjadi 29 orang, semuanya orang Eropa Belanda. Hal ini tidak disadari oleh Belanda kekuatan sebanyak itu di Pulau Guntung tidak mampu menghadang kekuatan Sultan Muhammad Mahmud karena Sultan Muhammad mempunyai kekuatan angkatan perang yang tangguh dan setia kepadanya, terus mengadakan kekacauan dan menghancurkan kapal-kapal Kompeni di Selat Melaka dan selat-selat sekitar pulau Bengkalis, selat Pulau Padang dan lain-lainnya. Kemudian hal ini akhirnya disadari juga oleh kompeni Belanda lalu pada bulan Oktober 1759 dikirim tentara sebanyak 29 orang yang terdiri dari orang-orang Belanda ke pulau Guntung. Selain tentara disertakan pula penambahan persenjataan yang canggih semasa itu, yakni sebanyak 19 meriam yang terdiri dari 16 buah berukuran dua belas pon, 3 draabas dan satu mortir. Tembok benteng di pulau Guntung dibuat tebal yakni setebal empat dan lima kaki, di sekeliling benteng diletakkan meriam sejauh jarak tembak meriam satu pon. Di sekitar benteng, semua pohon ditebang demikian pula semak-semak ditebas dan diterangi supaya orang Melayu tidak dapat merayap di sekitar Benteng itu. Kekuatan tentara Belanda di Benteng pulau Guntung itu sebanyak 55 orang, diantaranya empat orang bumiputera. Persiapan perbekalan untuk tentaranya cukup banyak seperti amunisi dan persediaan makanan. Di pelabuhan benteng pulau Guntung dipersiapkan sebuah kapal yang berjenis Tanjungpura bernama “Pera” dengan lima orang Belanda dan dua orang bumiputera, sebuah kapal swasta yang disewa, Pencalang de Vier Winden dengan tiga orang Belanda dan tujuh
orang bumiputera.26 Persiapan Belanda sangat rapi di pulau Guntung guna menghadang kapal-kapal dan para penjajab Sultan Muhammad Mahmud yang keluar masuk ke sungai Siak. Melihat hal yang demikian itu Sultan Mahmud tidak berani melakukan serangan secara terbuka atau membabi buta. Beliau mempersiapkan suatu siasat dan tipu muslihat dengan berpura-pura berbaik hati dengan Tuan Vandrig Hansen sebagai pimpinan serdadu Belanda di benteng pulau Guntung itu.             Pada pagi hari tanggal 6 Nopember 1759 armada Sultan Muhammad Mahmud terdiri 40 buah penjajab besar, satu kits dan calup memasuki sungai Siak. Sultan Muhammad memerintahkan seorang imam berketurunan Arab menghadap komandan benteng Pulau Guntung Tuan Vandrig Hansen untuk menyampaikan pesan Sultan Muhammad Mahmud bahwa sultan ingin berbaik dan berdamai. Selain itu disampaikan pula bahwa Sultan Muhammad Mahmud membawa isterinya karena ianya baru saja berkawin dengan puteri Sultan Johor dan akan memasuki sungai Siak. Hal ini adalah tipu muslihat Sultan Muhammad Mahmud supaya komandan Vandrig Hansen yakin dan percaya.             Sultan Muhammad Menyampaikan salam hormatnya dan beliau berjanji serta menjamin dan merasa terikat dengan kompeni. Untuk menunjukkan keterikatannya maka ia menghadiahkan dua tong arak, lima karung beras, empat karung kacang dan dua bal kain Jawa. Oleh karena itu, mohon sudi kiranya Tuan Komandan dapat memberi izin kepada Sultan Muhammad untuk masuk ke dalam benteng. Sebenarnya anak buah Vandrig agak curiga tetapi Vandrig tidak mau mendengar saran anak buahnya sehingga Vandrig memberikan izin kepada Sultan Muhammad Mahmud masuk ke dalam Benteng.
__________________________________ 26Netscher,    hlm. 178.
            Pada tanggal 6 Nopember 1759 sekitar jam 10 pagi ketika matahari pagi sedang bersinar, Sultan Muhammad Mahmud melangkah menuju benteng pulau Guntung dengan membawa anak buahnya yang terpilih sebanyak 80 orang, membawa barang-barang persembahan untuk diberikan kepada Tuan Vandrig Hansen komandan benteng
Belanda di Pulau Guntung tersebut. Barang persembahan itu diarak diletakkan di dalam peti dan sebagian di dalam dulang berkaki dan ditutup dengan tudung saji yang berlapis kain sutera berwarna warni. Peti-peti dipikul juga ditutup dengan kain sutera berwarna indah lalu dibawa oleh orang-orang Sultan Muhammad Mahmud. Peti-peti tersebut di dalamnya bukanlah hadiah yang dijanjikan, tetapi senjata keris-keris dan sondang. Sewaktu Sultan Muhammad Mahmud masuk ke dalam benteng, rombongan disambut dengan tujuh kali tembakan meriam. Vandrig Hansen sama sekali tidak mempersiapkan kesiagaan anak buahnya selain hanya 5 orang anak buah mengawal Vandrig bersenjata lengkap. Dia sangat yakin bahwa Sultan Muhammad Mahmud ingin bersahabat dengannya. Sultan Muhammad diterima di tingkat atas tempat duduk komandan dan disanalah dia menyerahkan hadiah yang dibalut dengan kain putih, untuk kehormatan itu dilepaskan pula tembakan meriam sebanyak lima kali. Panglima-panglima yang bijak dan tangkas sebanyak 50 orang dari Sultan Muhammad diberi izin masuk yang berada di pintu gerbang benteng tertutup. Begitu masuk mereka menyembah dan sujud di kaki Sultan Muhammad sambil bersabda” Kabar apa yang dibawa” dan dengan cepat sebagai pendekar terlatih, mereka menghunus kerisnya menghunjam ke lambung komandan Vandrig Hansen dan kepada pengawal komandan tersebut sehingga Vandrig terbunuh demikian pula pengawal yang menjaganya. Pasukan 80 hulubalang dan 50 panglima mengamuk dan membunuh semua laskar kompeni Belanda di benteng pulau Guntung itu, kecuali dua orang Eropa, seorang portugis dari Melaka dan seorang kelasi orang bumiputera. Semuanya tidak lepas dari amukan hulubalang dan para panglima Sultan Muhammad. Banyak korban dari pihak serdadu kompeni, semua perlengkapan dan alat perang seperti senjata dan amunisi dibawa oleh anak buah Sultan Mahmud. Semua kapal-kapal dirampas termasuk penjajab dan pencalang yang ada di pelabuhan Guntung diangkut ke kota Mempura pusat pemerintahan Kerajaan Siak. Armada Sultan Muhammad semakin besar dan kuat sebanyak 50 buah kapal dan 30 buah dikirim ke Selat Melaka untuk menghancurkan kapal Cina dan Siam yang bersekutu dengan kompeni Belanda dan merampas barang-barang dagangannya. Ketiga orang yang tertangkap, dibiarkan hidup dengan syarat ia harus masuk agama Islam. Yang tewas dalam amukan panglima dan hulubalang Sultan Muhammad Mahmud itu antara lain serdadu kompeni berjumlah 52 orang, anak buah kapal berjumlah 6 orang , anak buah kapal swasta berjumlah tujuh orang, jadi semuanya
berjumlah 65 orang. Dari jumlah 72 orang hanya 3 orang dari kapal swasta yang dapat menyingkir dan mereka inilah yang melaporkan berita peristiwa amukan Sultan Mahmud di benteng Pulau Guntung tanggal 6 Nopember tahun 1759.27             Menurut sejarah Bugis, Panglima yang membunuh Komandan Kompeni Belanda di Benteng pulau Guntung itu bernama Said Umar, menantu Sultan Muhammad dan keris yang digunakan bernama Jambu Awan. Di Kerajaan Siak pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mahmud ada tiga bentuk keris yang ternama yaitu keris Sepukal, keris Tuasik, Tilam Upih. Keris Tilam Upih tidak diperbolehkan dipakai lagi oleh hulubalang Sultan Muhammad karena sewaktu dipakai di pulau Guntung keris tersebut tidak mampu membunuh musuh dengan cepat, sebab keris itu mempunyai racun dan sifatnya lentur, kalau kena keris Tilam Upih ini racun menjalar ke tubuh sedangkan si penderita lambat matinya.             Pada tanggal 7 Desember 1759 datang surat dari petinggi Belanda di Melaka mengatakan kekecewaannya atas kejadian penyerangan Sultan Muhammad ke Benteng pulau Guntung yang terletak di Wilayah kekuasaan kerajaan Siak. Ini terjadi adalah kesalahan besar yang diperbuat oleh komandan Vandrig Hansen dan dialah yang bertanggung jawab atas pembantaian dan kericuhan yang terjadi. Sudah berulang kali diperingatkan kepada mereka jangan memandang ringan kepada orang Melayu, harus waspada dan teliti membaca situasi karena orang melayu itu lunak dan berhati keras dan memberontak apabila dia disakiti dan dihina.             Dipihak lain, Daeng Kamboja di Lingga ingin menjalin persahabatan untuk memerangi kompeni (V.O.C) di selat Melaka dikarenakan kebenciannya yang sangat mendalam. Dari pada bermusuh dengan iparnya Raja Alam lebih baik membantu kemenakannya Raja Haji. Daeng Kamboja mengirim kapal-kapalnya dalam usaha membuat perdamaian dengan Tengku Sulaiman yakni antara melayu dengan Bugis. Dengan demikian Johor akan kembali kebesarannya. Raja Terengganu telah membersihkan pengaruh Bugis dari Riau dan telah dapat memulihkan supremasi Melayu, dan membuat ikatan baru antara Melayu dengan Bugis dan tidak merugikan pihak Melayu. Sementara Sultan Sulaiman sudah uzur dan sakit-sakitan sehingga tidak mampu memimpin kerajaan Riau Lingga dan tidak dapat mengurus kepentingan rakyatnya, maka beliau memberikan maaf kepada Bugis. Oleh sebab itu Bugis dapat duduk kembali dalam pemerintahan di Riau Lingga.             Berbaiknya Sultan Sulaiman dengan Daeng Kamboja sangat
menguntung VOC. Daeng Kemboja menyatakan bahwa dia tidak ikut campur dalam sengketa antara kompeni Belanda dengan Sultan Muhammad Siak. Kompeni Belanda di Melaka meminta Daeng Kamboja membantu kompeni mengendalikan Sultan Mahmud, tetapi permintaan kompeni ditolak oleh Daeng Kamboja dengan alasan tidak mempunyai dana. __________________________________ 27 Ibid.,             Sultan Sulaiman mangkat pada tanggal 29 Agustus 1760, beliau dimakamkan di sungai Baru, dekat cabang sungai Batangan, maka disebut “Marhum Mangkat di Batangan”. Dengan mangkatnya Sultan Sulaiman, Daeng Kamboja melangkah lebih jauh dan membuat beberapa masalah yang sengaja merendahkan Raja keturunan Melayu. Beliau mengangkat putera almarhum Raja di Baruh dan dinobatkannya menjadi Raja di Johor dengan gelar Sultan Ahmad Riayat Syah, Sultan Ahmad pada waktu itu baru berusia 8 tahun, tidak mendapat asuhan dari ibunya Tengku Putih, karena meninggal seminggu setelah ayahanda Tengku Besar mangkat karena diracun. Sedangkan di kerajaan Riau Lingga, Daeng Kamboja mengangkat kemanakannya Raja Haji sebagai Raja Muda dengan gelar Raja Kelana. Tidak lama setelah itu Sultan Ahmad mangkat akibat kena racun juga. Semenjak itu Daeng Kamboja bebas memerintah di Wilayah kerajaan Johor-Riau-Lingga.             Menurut catatan pemerintah Belanda di Batavia menceritakan bahwa pemerintah Belanda di Melaka Gubernur Jendral dan Dewan Hindia sudah mempersiapkan angkatan perangnya untuk menuntut balas kepada kerajaan Siak yang dipimpin oleh Sultan Muhammad Mahmud yang dikenal nama kecilnya Tengku Buwang Asmara putra Raja Kecik, atas penghinaan dan pembunuhan secara masal terhadap tentara Belanda di pulau Guntung. Belanda menghasut Raja Alam sahabat barunya untuk ditempatkan ke atas tahta kerajaan Siak sebagai pengganti Sultan Mahmud. Dan sebelum kabar itu dicanangkan terlebih dahulu dibuat perjanjian antara Belanda dengan Raja Alam pada tanggal 16 Januari 1761 yang berbunyi antara lain:             Raja Alam (Tengku Alam) menyerah kepada kompeni Belanda dan berjanji bersahabat dengan Johor serta permusuhan dengan Raja Alam dihentikan untuk selama-lamanya.28             Dengan bantuan kompeni, Siak dapat direbut dan Raja Alam menyerahkan kembali benda-benda yang dirampas oleh Sultan Mahmud beserta semua hutangnya kepada kompeni Belanda. Kompeni Belanda segara menduduki pulau Guntung kembali dan berhak mendirikan
benteng di manapun di wilayah kerajaan Siak dan bebas melayari sungai-sungai. Kompeni Belanda bebas cukai. Raja Alam boleh memungut cukai dari pihak lain sebesar 2.1/5 % bagi barang keluar dan masuk. Pimpinan –pimpinan kelompok pembunuh harus diserahkan kepada kompeni. Sahabat kompeni adalah sahabat Raja Alam. Musuhnya juga musuh Raja Alam, karena itu harus bersama dalam memberantas perampokan di Selat Melaka. Raja Alam meminta kepada kompeni Belanda supaya dapat diberi keampunan kepada anaknya Muhammad Ali dan Muhammad Ali menyerahkan diri serta dapat menyerahkan pimpinan pembunuhan orang-orang kompeni Belanda pada masa perang di pulau Guntung. __________________________________ 28Tersimpan di dalam Arsip Melaka, Johor, Siak tertanggal 29 Mei 1761 pada hlm. 195.
            Banyak perjanjian kompeni yang dibuat untuk menanamkan kekuasaan dan penjajahannya di kerajaan Siak. Ini semua disetujui oleh Raja Alam, yang penting maksud dan tujuannya dapat tercapai untuk duduk di tahta kerajaan Siak. Beliau ingin membangun negeri yang telah dibina dan dibangun oleh ayahandanya. Dan akan terus melanjutkan perjuangan adiknya Sultan Muhammad Mahmud.  Raja Alam dengan Sultan Mahmud, ibarat ait dicencang tidak akan putus dan ayahandanya berpesan jangan berperang dengan saudara karena sangatlah besar balanya.             Pengiriman ekspedisi pertama ke Siak pada tanggal 21 Januari 1761 dengan empat buah kapal brigantin, satu pencalang bernama Draak, De Vrijheid, De Buls dan De Paari d amour yang dipimpin oleh Letnan Lc Buis dan Jurumudi Utama Jacob Wiek. Selain itu ditambah anak kapal dan 89 orang serdadu Belanda, 91 orang serdadu orang Bugis semuanya bergabung dengan kekuatan Raja Alam. Dalam ekspedisi tersebut diharapkan tidak terjadi peperangan dan tidak pula bertentangan dengan janji yang di buat. Kalau tidak didapati damai barulah diambil kekerasan senjata.             Tanggal 25 Januari 1761 ekspedisi pertama kompeni Belanda dengan Raja Alam sampai di kuala Siak dan berlabuh di pulau Guntung. Mereka tidak melihat pasukan dari Siak sehingga pasukan kompeni naik ke darat pulau Guntung. Di sana mereka melihat sisa-sisa peperangan pasukan Sultan Mahmud dengan serdadu Belanda. Sisa pertempuran itu terlihat dengan banyaknya tengkorak dan tulang-tulang manusia yang bergelimpangan dan berserakan di bumi pulau Guntung.29             Raja Alam berusaha menghubungi Sultan Muhammad Mahmud
dan puteranya Tengku Muhammad Ali untuk berdamai atau kalau tidak mau bergabung pergilah meninggalkan Siak atau kembali ke Batu Bara. Permintaan Raja Alam tidak mendapat tanggapan dari Sultan Mahmud dan Muhammad Ali. Namun pada petang hari tanggal 7 April 1761 terjadi perang terbuka antara pasukan Sultan Muhammad Mahmud dengan lima belas kapalnya yang bertemu dengan kapal patroli Belanda yang bernama “Zeepaard” dan “de Buis. “Kedua kapal ini mendapat tembakan dari pasukan Sultan Mahmud. Terjadi pertempuran selama satu jam setengah, karena arus air sungai Siak kuat maka kedua belah pihak mundur. Waktu perang terbuka tersebut kapal Belanda yang bernama Zeepaard kena tembakan 5 kali sehingga depan kapalnya rusak dan tiang layarnya hancur.30             Pertempuran pasukan Sultan Muhammad Mahmud dengan kompeni Belanda terus menerus berlangsung siang dan malam, korban banyak berjatuhan baik dari pihak Belanda maupun dari pihak Sultan Mahmud. _________________________________ 29Netscher,  hlm. 30 Ibid., Kapal Belanda yang berlabuh di sungai Siak diserang dengan mempergunakan raket-raket yang dibakar dan dihanyutkan kepada kapal-kapal belanda. Di sungai Siak dibentangkan rotan-rotan besar untuk menghalangi kapal Belanda masuk dan di samping itu balok-balok kayu dilintangkan di sungai Siak sehingga kapal Belanda tidak dapat berbuat apa-apa dan sangat kewalahan menghadapi jebakan-jebakan hulubalang Sultan Muhammad Mahmud.             Peperangan dan perselisihan antara Sultan Mahmud dengan kompeni Belanda tidak dapat didamaikan karena Belanda sangat ambisi membelas dendam tentang kejadian di pulau Guntung. Sultan Muhammad Mahmud yang dibantu oleh anak saudaranya Tengku Muhammad Ali (Putra Raja Alam) sebagai panglima perang dan putra Sultan Muhammad Tengku Ismail dan panglima-panglima yang gagah berani menentang kompeni Belanda ini, yang berlangsung sepanjang hari, sepanjang bulan dan tahun sampai mangkatnya Sultan Muhammad pada tahun 1760.             Masa pemerintahan Sultan kedua ini bermula dari tahun 1746 sampai tahun 1765. Selama 19 tahun ianya memimpin kerajaan namun tidak banyak meninggalkan bukti-bukti peninggalan yang dapat disaksikan sekarang seperti mesjid, istana dan lain-lainnya. Hanya saja
pada tahun 1750 Sultan Muhammad Mahmud (Tengku Buwang Asmara) gelar Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah, Sultan kedua ini memindahkan pusat pemerintahan kerajaan dari Buantan ke negeri Mempura yang terletak di dalam sungai Mempura anak sungai Siak.31             Pindahnya pusat pemerintahan kerajaan Siak dari dari Buantan ke Mempura adalah untuk membuat pertahanan dari serangan kompeni Belanda yang semakin gencar. Di dalam Syair Perang Siak tertulis pada bait 123-132 antara lain berbunyi :                         Ada kepada suatu hari   Lalu bertitah raja bestari Mengampungkan orang isi negeri Serta hulubalang wazir menteri
Datang menghadap sekaliannya rata Lalu bertitah Duli Mahkota Apa bicara sekarang kita Cari mufakat pulak serta
_________________________________ 31 Tenas Effendy dan Nahar Effendy, 1972, Lintasan Sejarah Kerajaan Siak, Pekanbaru : BPKA Riau, hlm. 23. Mufakat dicari dengan bicara Sebab terkenang akan saudara Lalu bertitah Sri Betara Kita hendak menyusup Mempura
Tidak tersebut kisah dan peri Perkenan baginda membuat negeri Di Bandar yang bahari Zaman ini sukar dicahari
Kerajaan baginda di Indrapura Yang seteru tidak bertara Wartanya masyhur tidak terkira Melaka hendak dikira-kira
            Setelah pemerintahan kerajaan dipusatkan di Mempura; maka selanjutnya pertahanan kerajaan semakin diperkuat dengan angkatan laut yang memadai dan dilengkapi dengan meriam. Kubu-kubu pertahanan ditumbuhkan dan dipimpin oleh panglima handalan. Armada angkatan laut dilengkapi dengan kapal perang, baik kapal besar
Beranda
Lihat versi web
semacam kapal induk maupun kapal-kapal kecil yang mengelilingi kapal induk. Diantara nama-nama kapal perang itu adalah Harimau Buas, Jembalang Guntung dan medan sabar. Di dalam Syair Raja Siak 32 secara jelas disebutkan nama-nama serta perlengkapan yang digunakan pada masing-masing kapal. Sebagai kerajaan yang awal berdirinya bermula dari pemisahan diri akibat terjadi perselisihan dengan saudara di Johor, maka kerajaan int tetap menjalankan tata cara pemerintahan kerajaan Johor.             Setelah Sembilan belas tahun memimpin kerajaan Siak, maka pada tahun 1760 Sultan Muhammad Mahmud juga dikenal Tengku Buwang Asmara dengan gelar Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah Sultan kerajaan Siak kedua ini mangkat dan dimakamkan di kota Mempura di pusat pemerintahannya dan digelar Marhum Mempura.     
_________________________________ 32 Syair Raja Siak adalah manuskrip koleksi Van de Wall dengan nombor kod W. 273. Sekarang manuskrip tersebut menjadi simpanan Perpustakaan Nasional Jakarta
Tengku Ismail
Sultan Abdul JalilJalaluddin Syah
(sultan siak 3)(marhum mangkat di balai)(1765m-1767m)

 
Setelah Sultan Muhammad Abdul Jalil Muzaffar Syah wafat, maka puteranya yang bernama Tengku Ismail dinobatkan sebagai Sultan dengan gelar Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah pada tahun 1760. Tengku Ismail lahir pada tahun 1745 dari ibunya yang merupakan anak perempuan Daeng Mattekuh. Sedangkan isterinya yang diketahui adalah dua orang, isteri pertama bernama Tengku Sani adalah anak perempuan dari Tengku Busu yang merupakan anak lelaki Raja Kecik namun ibunya tidak diketahui. Sedangkan isteri keduanya bernama Tengku Neh, salah seorang anak perempuan Sultan Mansur di Terengganu. Mengenai masa pemerintahan Sultan Ismail ini banyak pendapat, dalam penulisan ini digunakan angka tahun 1760-1766. Pengambilan angka tahun tersebut disokong oleh penulisan sejarah dari Terengganu yang disusun oleh Datok Tengku Ismail bahwa Sultan Mahmud mangkat pada tahun 1760 sehingga pemerintahan Kerajaan Siak diserahkan kepada Tengku Ismail putera keduanya. Berarti Sultan Ismail memerintah selama enam tahun yang dimulai dari tahun 1760 hingga tahun 1766. Selanjutnya disebutkan pula bahwa Sultan Mahmud mangkat pada tahun 1760, maka Sultan Mahmud memimpin kerajaan Siak selama 14 tahun yakni dari tahun 1746 sampai 1760. Penobatan Tengku Ismail sebagai Sultan pengganti ayahandanya mengakibatkan terjadinya goncangan di kerajaan Siak. Penunjukan ini disengketakan oleh putera Tengku Alam yang bernama Tengku Muhammad Ali yang bertindak atas nama ayahandanya Tengku Alamuddin. Sangatlah adil kiranya Sultan Muhammad Mahmud setia kepada abangnya Tengku Alam yang masih hidup untuk sebagai penggantinya. Sedangkan Tengku Muhammad Ali Putera Tengku Alamuddin sangat setia kepada pamannya. Selama Sultan Muhammad
Mahmud memimpin kerajaan Siak dan bertugas sebagai panglima perang. Dengan adanya selisih paham ini, paman Tengku Ismail yang bernama Tengku Bungsu yang disebut juga Raja Ibrahim, secara diam-diam meminta bantuan Daeng Kamboja supaya dianya dapat menetap di Johor, serta meminta perlindungan kepada kompeni, tetapi Gubernur Belanda di Melaka tidak meresponnya dan tidak percaya kepada raja-raja Siak karena telah banyak membuat kompeni menjadi susah. Namun kompeni Belanda merasa sangat beruntung dengan adanya sengketa antara Sultan Ismail dengan Tengku Muhammad Ali karena Belanda dapat menjalankan politik adu domba yaitu politik pecah belahnya. Hal ini telah lama dipersiapkan oleh kompeni Belanda semenjak Sultan Muhammad Mahmud masih memerintah. Sultan Muhammad Mahmud pada akhir hayatnya pernah memberikan wasiat kepada puteranya Sultan Ismail yang berisi sebagai berikut: “Janganlah tunduk kepada Belanda yang kafir dan penjajah itu, dan jangan melakukan perang terhadap saudara apalagi dengan keluarga sendiri serta apabila pamanmu Raja Alamuddin kembali ke negeri Siak ini, serahkanlah tahta kerajaan Siak ini kepada pamanmu Raja Alamuddin.” Dalam masa pemerintahan ayahandanya, Sultan Ismail sering mendapat perintah dari ayahandanya untuk memberi bantuan kepada para sahabat ayahnya yaitu Raja-raja Melayu, baik di kerajaan Johor maupun di kerajaan Terengganu. Pada masa itu hubungan kerjasama Sultan Muhammad Mahmud dengan kerajaan Johor dan dengan kerajaan Terengganu sering terjalin hubungan, walaupun politik pecah belah yang sering terjadi antara beliau dengan Daeng Kamboja, Sultan Sulaiman Johor Lingga dan terutama dengan kompeni Belanda dan abangnya sendiri Tengku Alamuddin. Sebenarnya tidak banyak yang diperbuat Sultan ketiga ini dalam masa pemerintahannya yang singkat karena adanya cup detat dari pamannya yang bernama Raja Alam yang dihasut oleh Belanda ketika itu. Hanya saja dalam menjalankan pemerintahan, Sultan ini tetap berpegang pada pola pemerintahan ayahnya serta wasiat yang diamanahkan ayahnya yakni menyerahkan tahta kerajaan kepada pamannya Raja Alamuddin apabila pamannya kembali lagi ke Siak. Wasiat itulah yang dipatuhi Sultan Ismail dan ternyata baru saja ia memimpin kerajaan maka datanglah pamannya untuk mengambil alih kekuasaan. Hal ini dikarenakan berita wafatnya Sultan Mahmud Abdul Jalil Muzaffar Syah dan pengangkatan Sultan Ismail sebagai penggantinya tersiar sampai ke johor. Berita ini mengakibatkan Belanda mulai menjalankan politik adu dombanya yakni membujuk Raja Alamuddin untuk kembali ke Siak memegang tahta kerajaan. Usaha belanda ini berhasil sehingga Raja Alamuddin dan pasukan Belanda datang menyerang Siak. Dalam sejarah Riau (1977) disebutkan bahwa ketika berita
kedatangan Raja Alamuddin dengan pasukan Belanda sampai kepada Sultan Ismail di Siak, maka Sultanpun mempersiapkan pasukannya untuk menghadapi angkatan perang Belanda. Lalu terjadilah pertempuran yang dahsyat antara pahlawan-pahlawan Siak yang berjihad dengan tidak kenal menyerah dengan pasukan Belanda. Dalam pertempuran tersebut banyak pahlawan Siak yang gugur di Medan perang. Di saat pasukan Belanda hampir kalah, maka Belandapun melakukan tipu muslihatnya sekali lagi yakni dengan membujuk Raja Alamuddin untuk menulis surat   kepada Sultan Ismail agar menghentikan pertempuran dan berdamai. Akan halnya Sultan Ismail, setelah membaca surat dari pamannya, maka ianya menghentikan pasukannya berperang dan bersiap-siap untuk menyambut kedatangan pamannya seperti yang diamanahkan ayahandanya dan menyerahkan tahta kerajaan. Setelah itu Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah mengundurkan diri ke Pelalawan dan terus ke Langkat. Selanjutnya beginda melakukan pengembaraan dari satu daerah ke satu daerah termasuk juga meminta bantuan Belanda untuk mengambil kembali kerajaan yang pernah dipimpin nya dan nantinya baginda sempat juga memimpin kerajaan Siak setelah Sultan Muhammad Ali Mangkat. Sementara di bagian lain, orang-orang Melayu di Riau-Lingga yang dipimpin oleh Datuk Bendahara Tun Hasan mengirim surat kepada Sultan Mansyur Terengganu dan kepada Sultan Ismail Siak untuk membantu Johor-Riau dalam menghalau orang-orang Bugis yang telah menguasai Johor-Riau dengan maksud menghilangkan kekuasaan orang Melayu di Johor-Riau. Sultan Mansyur Terengganu sudah mufakat dengan Sultan Ismail untuk membantu orang Melayu di Johor-Riau dan diadakan pertemuan di Terengganu sehingga Sultan Ismail datang beserta angkatan perangnya ke Terengganu untuk membincangkan strategi melawan Bugis di Johor-Riau. Setelah selesai bermufakat, maka Sultan Mansyur mempersilakan Sultan Ismail berangkat terlebih dahulu ke Johor, sedangkan angkatan perang Terengganu yang dipimpin Sultan Mansyur berjanji akan datang menyusul. Akan tetapi Sultan Terengganu mungkir janji sedangkan Sultan Ismail sudah sampai di Singapura. Sementara itu Sultan Mansyur tetap ditunggu kedatangannya oleh Sultan Ismail di Terengganu. Sultan Mansyur terlibat masalah dengan kerajaan Kelantan, sehingga Sultan Ismail terpaksa pulang balik dari Singapura ke Terengganu untuk membantu Sultan Mansyur menghadapi serangan kerajaan Kelantan. Dengan bantuan angkatan perang Sultan Ismail serangan serangan Kelantan dapat dipatahkan. Dikarenakan masalah ini terus berlarut-larut sedangkan Sultan Ismail lama tinggal di Terengganu beserta angkatan perangnya, maka pada tahun 1763 Sultan Ismail menyunting puteri Sultan Mansyur Syah yang bernama Tengku Tipah untuk dijadikan isteri. Pada tahun 1764 angkatan perang Sultan Ismail berkumpul kembali di Singapura dan berperang dengan angkatan perang dengan angkatan perang Daeng Kamboja yang datang dari Riau. Sedangkan Sultan Mansyur Terengganu tidak mengirimkan pasukannya untuk
Beranda
Lihat versi web
membantu Sultan Ismail di Singapura. Peperangan antara Sultan Ismail dengan Daeng Kamboja usai dengan kekalahan Sultan Ismail dan kemudian Sultan Ismail berundur berlayar balik ke Siak. Bersama Isterinya Tengku Tipah membangun negeri Siak yang didampingi Tengku Muhammad Ali sebagai panglima perang. Tengku Tipah datang ke Siak dengan membawa pengasuh dan dayang-dayang serta orang-orang perempuan yang pandai menenun. Semenjak itu mulailah Tengku Tipah mengenalkan tenun yang dibawanya dari Terengganu. Kemudian mengajar rakyat Siak bertenun sehingga orang-orang Siak menjadi pandai menenun. Pada waktu itu alat tenunnya sangat sederhana dan bernama alat tenun tumpu. Semenjak itulah masyarakat Siak menghasilkan tenun sehingga orang perempuan di Siak pandai menenun kain dan hasil tenunan itulah terkenal sampai sekarang ini. Sampai saat ini belum diketahui atau ditemukan dimana makam Tengku Tipah ini berada. Setelah Sultan Ismail berlanglangbuana membantu saudarasaudaranya di negeri Terengganu, Siantan dan Singapura Johor, beliau kembali ke Siak Mempura bersama isterinya, kemudian beliau mangkat di Mempura saat Baginda sedang mengadakan sidang di Balairung Seri dengan gelar Marhum Mangkat di Balai. Tim penelitian Sejarah Terengganu dan Siak setelah mempelajari kuburan lama yang ada di Mempura, lebih kurang 200 meter letaknya di sebelah barat makam Sultan Muhammad Mahmud yang batu nisannya sama dengan batu nisan Almarhum ayahandanya Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah. Sultan Ismail dikenal juga dalam hikayat Siak disebut “Sultan Bertangan Kudung”. Kisah ini disampaikan dalam cerita rakyat orang Siak bahwa tangan beliau kudung karena dipancung oleh lawan musuhnya di dalam suatu peperangan.
Tengku Alam
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
(sultan siak 4)(marhum bukit)(1767m-1780m)


Sultan Ismail sangat mematuhi wasiat ayahnya dan setelah pamannya tiba di Siak, tahta kerajaan diserahkan kepadanya dan pada tahun 1766 Raja Alamuddin dinobatkan sebagai sultan ke-4 dengan gelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.
Raja Alam dibesarkan di Kerajaan Siak yang berpusat di Buantan bersama adiknya lain ibu, Tengku Muhammad yang dipanggil Tengku Buwang Asmara. Mereka berdua ditempa dan dididik dengan pengetahuan agama, pemerintahan, adat istiadat dan dilatih untuk membela diri yang ditempa oleh ayahandanya untuk menjadi panglima perang yang perkasa.
Setelah ibunda Tengku Muhammad yang bernama Tengku Kamariah Mangkat dan Raja Kecik sering sakit-sakitan dan tak mau mengurus kerajaan. Maka Raja Alam ditunjuk sebagai Raja Muda dan Tengku Muhammad (Tengku Buwang) ditunjuk sebagai calon Sultan pengganti Raja Kecik. Peristiwa inilah yang membuat Raja Alam kecewa, dan akhirnya beliau beserta pengikut-pengikutnya mengundurkan diri dari kerajaan Siak dan pergi berlanglang buana ke Selat Melaka. Akhirnya menetap di Batu Bara Deli.
Putera Tengku Alam yang bernama Tengku Muhammad Ali, pada pemerintahan Sultan Muhammad Mahmud menjabat sebagai panglima perang. Beliau melaksanakan tugas sampai kepada masa pemerintahan Sultan Ismail. Sewaktu Tengku Ismail dinobatkan sebagai Sultan Siak, maka terjadi selisih paham antara Tengku Muhammad Ali dengan Sultan
Ismail yang berstatus adik sepupunya. Tengku Muhammad Ali mempertanyakan mengapa tidak ayahandanya Raja Alam yang diangkat sebagai Sultan menggantikan Sultan Mahmud. Namun pertanyaan itu tetap menjadi sebuah pertanyaan yang tiada jawaban. Setelah Raja Alam dinobatkan menjadi Sultan kerajaan Siak ke IV, puteranya Tengku Muhammad Ali diangkat menjadi wakil Sultan. Tengku Muhammad Ali seorang panglima perang yang pemberani serta pandai memimpin laskarnya dalam Medan perang dan sangat bijaksana.
Raja Alam merebut tahta kerajaan Siak dan belot dengan Belanda.
Sebelum Raja Alam menjadi Sultan Siak, beliau seorang putera kerajaan Siak yang banyak membuat kekacauan di Selat Melaka, sehingga kompeni Belanda maupun pedagang-pedagang di Selat Melaka sering menjadi sasaran rampokan dari Raja Alam. Kemudian disebabkan merasa tidak aman di Batu Bara, maka Raja Alam melanjutkan perjalanannya ke Siantan dengan membawa pengikut yang dihimpunnya berjumlah 500 orang yang terdiri berbagai bangsa dan suku. Dalam catatan Netscher disebutkan bahwa mereka merupakan pengembara yang mempunyai kapal-kapal dari hasil rampokannya. Seperti tiga puluh senjata berat dan puluhan senapan tangan. Kapal-kapal yang lewat di Selat Melaka atau dilaut Cina Selatan, baik kapal kompeni ataupun kapal-kapal Eropa tidak lepas dari rampokannya. Kapal Inggris “Nancy" yang sarat muatan barang-barang berharga habis dirampok oleh pengikut Raja Alam dan kapten kapal itu bernama Thomas Halnes terbunuh.33                         Dengan adanya keganasan perampokan yang terjadi di Laut Siantan, maka Sultan Mansyur Terengganu meyakinkan mertuanya Sultan Sulaiman dan menghimpun kekuatan. Pada tanggal 5 Oktober 1748 pasukan Sultan Mansyur Terengganu berangkat ke Siantan untuk mengusir Raja Alam, akan tetapi misi ini tidak berhasil dan akhirnya meminta bantuan dari Daeng Kamboja, namun juga tidak berhasil, karena Daeng Kamboja tidak mau memerangi kemanakannya sendiri. Raja Alam menikahi Daeng Khatijah puteri Daeng Perani. Sedangkan Daeng Perani adalah saudara Daeng Kamboja.
_______________________________
33  Netscher, hlm.
            Semua hasil rampokan dibawa ke Borneo (Kalimantan) karena Raja Alam mendapat perlindungan dari Ratu Mengkurat sehingga pasukan Sultan Sulaiman Johor dan Sultan Mansyur Terengganu kembali
ke Johor. Demikianlah kisah pertualangan Raja Alam di Selat Melaka dan di laut Cina Selatan. Dikarenakan kompeni Belanda sangat kewalahan menghadapi Raja Alam, maka kompeni Belanda di Melaka mengundang Raja Alam untuk berdamai. Hal ini disebabkan oleh pengamatan Kompeni Belanda terhadap terjadinya pertikaian putera-putera Raja Kecik antara Tengku Muhammad dengan Raja Alam akan mendatangkan keuntungan bagi kompeni. Dengan damainya Raja Alam dengan kompeni, maka kompeni bermaksud akan membantu Raja Alam mengambil tahta kerajaan Siak dari Sultan Mahmud.
Undangan perdamaian tersebut memang dihadari oleh Raja Alam dan dibuatlah perjanjian yang bersifat kontrak antara Raja Alam dengan kompeni Belanda pada tanggal 16 Januari 1761 yang berbunyi antara lain :
“Raja Alam menyerah kepada kompeni dan bersahabat dengan Johor. Kompeni membantu Raja Alam menyerang Sultan Mahmud untuk mengambil tahta kerajaan Siak. Membenarkan kembali pendirian loji dan benteng di pulau Guntung serta menghukum orang-orang Siak yang membantai orang Belanda di pulau Guntung, dan lain-lainnya yang terdiri 13 pasal.”34
                Atas bantuan kompeni Belanda yang igin membalas dendam kepada Sultan Mahmud, Raja Alam dapat menduduki kerajaan Siak yang belum sempat dilantik secara hokum dan adat kerajaan. Sultan Mahmud dan Puteranya Tengku smail, Tengku Muhammad Ali putera Raja Alam dan para pengikutnya mengundurkan diri ke Pelalawan dan meminta bantuan kepada Sultan Sulaiman dan Sultan Mansyur. Berselang tidak begitu lama, Raja Alam dapat dihalau kembali dari Siak oleh Sultan Mahmud dengan bantuan berpuluh kapal dan alat senjata dengan laskar yang terpilih.
            Setelah kembalinya Sultan Muhammad di Siak dan beberapa tahun kemudian Sultan Muhammad Mahmud wafat, tahta kerajaan Siak dipegang oleh Sultan Ismail puteranya, kemudian menimbulkan perselisihan paham dengan Tengku Muhammad Ali putera Raja Alam. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh kompeni Belanda mengambil kesempatan melakukanan politik pecah belah antara kerabat kerajaan Siak. Belanda terus menghubungi Raja Alam dan segala tipu dayanya membujuk Raja Alam untuk kembali menyerang Siak dan Belanda akan membantu menyingkirkan kemanakannya yang sedang berkuasa. Raja Alam bersedia menerima tawaran tersebut, asalkan Belanda berjanji tidak mencampuri urusan keluarga kerajaan Siak. Syarat tersebut disanggupi oleh Belanda dan menyatakan bahwa harapannya untuk menempatkan Raja Alam di kerajaan Siak adalah untuk mengeratkan
kembali hubungan kompeni Belanda dengan Siak dan dapat menempati kembali lojinya di Pulau Guntung.
Raja Alam menjadi Sultan Siak
Pada waktu yang direncanakan, maka Raja Alam dengan bantuan kompeni Belanda datang lagi menyerang Siak. Dalam penyerangan ini, Raja Alam tidak melakukan kekerasan, karena Raja Alam tidak mau berperang melawan anak saudaranya Sultan Ismail, sedangkan puteranya Tengku Muhammad Ali dan isterinya Daeng Katijah bersama Sultan Ismail yang terus menentang kompeni Belanda yang menjadi musuh ayahandanya. Demikian juga halnya dengan Sultan Ismail yang tidak akan berperang dengan pamannya Raja Alam. Sultan Ismail menyambut kedatangan pamannya dan menyerahkan singgasana kerajaan Siak kepada Raja Alam. Perdamaian antara persaudaraan ini membuat kerajaan Siak semakin terkenal di wilayah Selat Melaka dan dunia luar lainnya.
_______________________________
34  Ibid.,hlm.191.
            Setelah Raja Alam menduduki singgasana kerajaan, Kompeni Belanda menuntut janjinya kepada Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah yang dibuat tahun 1761 yang lalu. Sesuai dengan janji yang dibuat, maka Sultan Alamuddin Syah memberi izin kepada kompeni Belanda untuk membangun lojinya di pulau Guntung, dengan adanya izin tersebut, maka Belanda semakin besar menanamkan pengaruhnya di negeri Siak dan sekitarnya. Belanda diberi kesempatan untuk melakukan perdagangan di Siak secara bebas. Akibatnya pihak Belanda dapat mengeruk keuntungan cukup besar dalam perdagangan.
            Ketika Sultan Alamuddin Syah memegang kekuasaan kerajaan Siak, sebenarnya baginda menentang dengan diam-diam kebijakan yang dibuat oleh Belanda. Belanda meminta hutang-hutang perang yang dibuat oleh Sultan Alamuddin Syah pada waktu membantu beliau untuk duduk di tahta Siak, juga perjanjian tahun 1761 bahwa kehancuran kebinasaan yang dibuat oleh adiknya Sultan Mahmud waktu perang di pulau Guntung supaya diganti. Sultan Alamuddin Syah tidak mengindahkan tuntutan Belanda tersebut lalu memperkuat kedudukannya di Mempura.
Melihat keadaan Belanda yang makin lama makin menancapkan kukunya di Siak, maka pada tahun 1767 sultan memindahkan pusat pemerintahan kerajaan dari mempura ke Bandar Senapelan yang terletak di hulu sungai Siak. Dipilihnya senapelan sebagai pusat pemerintahan adalah dengan pertimbangan bahwa daerah ini terletak pada persimpangan lalu lintas perdagangan yang sangat ramai antara lain persimpangan jalan dari Minangkabau, Kampar, Rokan, Tapung dan lain-lain. Tidak lama setelah itu di Senapelan dibangunlah sebuah pekan atau pasar yang baru untuk perdagangan. Bandar ini semakin maju dan ramai, kemudian menjadi nama Bandar Pekan (Pasar) yang dikenal dengan Pekan Baharu dan berobah sebutannya menjadi “Pekanbaru” hingga saat ini.
Disamping itu untuk memperluas perdagangan dan meningkatkan perekonomian rakyat, sultan membuka jalan yang menghubungi negeri Senapelan dengan daerah-daerah komoditi perdagangan yang banyak menghasilkan hasil hutan dan bumi seperti damar, rotan, kayu, lada, manisan lebah, timah dan lain-lainnya. Jalan dibuat melalui dua penjuru. Arah selatan ke negeri Teratak Buluh Cina, Lipat Kain. Arah barat ke negeri Kampar, Bangkinang, Rantau Berangin kemudian diteruskan oleh pemerintah Belanda ke Pangkalan Koto Baru. Sebelumnya itu hubungan perdagangan dengan negeri-negeri ini dihubungkan melalui sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri yang berpangkalan di Teratak Buluh kemudian barulah sampai ke Pekanbaru.
Kompeni Belanda sangat kesal kepada Sultan Alamuddin Syah karena janjinya yang disepakati bersama tidak ditepati oleh Sultan Alamuddin. Bahkan karena kompeni Belanda semakin ingin berkuasa di negeri Siak dan tindakan Belanda telah melewati batas, Sultan Alamuddin Syah tidak mau lagi tunduk kepada kompeni Belanda. Oleh karenanya loji Belanda di Pulau Guntung terpaksa ditutup.35
            Banyak hal yang diperbuat oleh sultan keempat ini dan kesemuanya itu dilakukan dalam rangka memajukan kerajaan. Perbuatan tersebut menandakan sultan memiliki pengetahuan yang luas dan pola pikir yang jauh kedepan termasuk dalam kegiatan perkawinan. Sultan merubah tradisi yang biasa dilakukan pada saat itu yakni menikahkan anak dengan keluarga sendiri atau dari kalangan suku sendiri. Hal ini terlihat ketika sultan menikahkan puterinya yang bernama Tengku Embung Badariah dengan seorang Arab yang bernama Syarif Usman bin Syarif Abdul Rahman Syahabuddin.
           
_______________________________
35 Keterangan lanjut dapat dibaca dalam Sejarah Riau, 1977, hlm. 179.
Empat orang penyiar agama Islam dari negeri Arab (Yaman Tarim) yang turun ke wilayah Asia Tenggara, mereka adalah Syed Abdullah Al Qudsi, Syed Usman bin Sahabuddin, Sayid Muhammad bin Akhmad Alldrus, Sayid Husen Al Qadri. Sayid Usman meneruskan perjalanannya ke kerajaan Siak beliau memiliki garis keturunan langsung dengan Nabi Muhammad SAW sebagaimana tersebut di bawah ini:
            Sayid Usman bin Abdul Rahman bin Sayid bin Ali bin Muhammad bin Hasan bin Umar bin Hasan bin Syeh Ali bin Abu Bakar Asyakran bin Abdul Rahman As-Sagaf bin Achmad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isya bin Muhammad Annaqep bin Syaidina Ali dengan Isterinya Siti Fatimah binti Nabi Muhammad SAW.
            Kemudian Sayid Husin Alqadri meneruskan perjalanannya ke Kalimantan dan disana keturunannya menjadi Raja-raja di kerajaan Pontianak. Kehadiran Sayid Usman ini tidak begitu saja diterima oleh Sultan, namun dengan melalui proses yang panjang seperti ujian yang berat, baik agama, ketangkasan berperang, maupun nilai-nilai adab dan adatnya, semua itu sesungguhnya sangat mengagumkan Sultan. Kemudian Sultan mengadakan mufakat dengan orang-orang besar kerajaan dan kaum kerabat, maka Syarif Usman dinikahkan dengan Tengku Embung Badariah dengan mas kawin seraga mata Bajak Laut, hal dapat dipenuhi oleh Sayid Usman. (Tengku Jang, 1930).             Perkawinan ini sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Kerajaan Siak, sehingga Sultan-sultan Melayu yang berketurunan Arab ditandai dengan pemakaian gelar as-sayid dan as-syarif. Peletak dasar dimulai dari Sultan As-sayidis as-syarif Ali Sultan ke-7 kerajaan Siak. Karena beliau adalah anak Syarif Usman dengan Tengku Embung Badariah. Selain sebagai seorang panglima perang yang handal, Syarif Usman juga seorang yang gigih dalam pengembangan agama Islam di wilayah kerajaan. Hal ini mendapat sambutan dari sultan yang juga seorang yang taat beribadah. Setiap pelaksanaan kegiatan yang dilakukan di wilayah kerajaan beserta daerah takluknya berdasarkan prinsip Islam. Kehebatan Syarif Usman ini nantinya diwarisi oleh puteranya yang kelak menjadi Sultan di Kerajaan Siak. Bermula dari sini pula nantinya kerajaan Siak dipimpin oleh Sultan yang memiliki zuriat Arab. Artinya Syarif Usman merupakan cikal bakal suku Arab memerintah di kerajaan Siak dan mengakhiri suku Melayu karena
Beranda
Lihat versi web
puteranya Syarif Ali nantinya menjadi Sultan di kerajaan Siak.             Kehadiran Syarif Usman dalam keluarga kerajaan yang kedudukannya sebagai menantu Sultan sangat berpengaruh sekali terhadap perkembangan Kerajaan Siak, karena Syarif Usman adalah seorang panglima perang yang handal. Atas izin Sultan, Syarif Usman melakukan perluasan wilayah kerajaan dengan melakukan penaklukan ke daerah-daerah di sekitar kerajaan sehingga kerajaan Siak memiliki dua belas daerah jajahan takluknya.             Pada masa pemerintahan Sultan Alamuddin Syah, ianya membangun sebuah Mesjid di kawasan Kampung Bukit Senapelan yang diberi nama Mesjid Nur Alam yang pada saat ini telah lapuk dimakan usia dan pada masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim II dibangun kembali mesjid di kawasan ini yang kini dikenal dengan nama Mesjid Raya.             Perluasan Wilayah ke arah barat pulau Sumatera Seperti Batubara, Deli, Bilah dan sampai ke batas Aceh Temiang. Sewaktu beliau merebut Batubara beliau mangkat di Barat maka beliau digelar Marhum Barat. Jenazah Almarhum Syarif Usman dibawa pulang ke negeri Siak dan dimakamkan di Pekanbaru berdampingan dengan makam Sultan Alamuddin Syah. Pada tahun 1780 Sultan Alamuddin Syah mangkat dan dimakamkan di Kampung Bukit di Mesjid Raya Pekanbaru sekarang dan digelari dengan marhum Bukit.  
Tengku Muhammad Ali
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah
(sultan siak 5)(1780m-1782m)(marhum pekan)


            Setelah Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah mangkat, tahta kerajaan diteruskan oleh anaknya yang bernama Muhammad Ali dengan gelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah. Tengku Mandak binti Sultan Abdul Jalil Muhammad Muzaffar Syah. Sultan yang terkenal dengan keperkasaan melawan Belanda semenjak masa pemerintahannya.             Sultan Muhammad Ali tidak lama memerintah, karena umur sudah lanjut dan tenaganya terlalu terkuras dalam peperangan dengan kompeni Belanda semenjak tahun 1760. Pada masa pemerintahannya Sultan Muhammad Ali menunjuk Syarif Ali sebagai panglima perang. Syarif Ali adalah anak Syarif Usman dengan Tengku Embung Badariah berarti adik sepupu Sultan Muhammad Ali.             Tengku Muhammad Ali bersaudara sebanyak 6 (enam) orang, satu ayah dan satu ibu dari perkawinan Alamuddin Syah dengan ibu Puan Khatijah yaitu :     Tengku Muhammad Ali anak tertua,     Tengku Akil,     Tengku Embong Badariah,     Tengku Hawi,     Tengku Sukma,     Tengku Mas Ayu (Tambo Kerajaan Terengganu). Ketika Sultan Alamuddin Syah naik tahta, Tengku Muhammad Ali diangkat sebagai Raja Muda di kerajaan Siak. Beliau membantu ayahnya dalam menghadapi politik pecah belah yang dilaksanakan oleh Belanda. Pemerintahan Sultan Muhammad Ali tidak memberikan keuntungan kepada Kompeni Belanda, sehingga Belanda melepas
tangan tidak mau membantu dan dianggap telah melanggar hasil perjanjian yang dibuat pada tahun 1761. Sultan Muhammad Ali menghapus loji Belanda di Pulau Guntung yang terletak di muara Sungai Siak. Inilah yang membuat kemarahan Belanda sehingga Belanda tidak lagi menyokong pemerintahan kerajaan Siak. Belanda mendirikan loji di pulau Guntung dengan maksud menghidupkan perdagangan antara kerajaan Siak dengan Kompeni Belanda akan tetapi tidak berhasil dan sangat merugikan, karena pengaturan hasil komoditi hutan sudah diatur oleh Sultan Muhammad Ali di pedalaman sungai Siak yakni di Senapelan. Sehingganya Belanda mengatakan biarlah Sultan Muhammad Ali mengurus nasibnya sendiri. Kompeni Belanda di Melaka tidak ikut campur dan tidak membantu Sultan Muhammad Ali, baik secara ekonomi maupun serangan-serangan dari perampok lanun dan lain-lain. Kompeni Belanda berusaha menjauhkan diri dari konflik-konflik  yang timbul di Siak maupun di Selat Melaka.       Sultan Muhammad Ali bangga atas kemampuan Syarif Ali dan menganggap sifat petualangan Syarif Ali akan dapat memberikan manfaat baginya dan negerinya. Oleh sebab itu dengan kemampuannya dan pengaruhnya, Sultan Muhammad Ali memasukkan Syarif Ali dalam pemerintahan. Tetapi usaha ini ditentang oleh yang Dipertuan Muda Tengku Endut, maka Sultan Muhammad Ali bersama Syarif Ali berpindah ke Senapelan yakni tempat kedudukan Batin Senapelan dibawah wilayah Kerajaan Siak.       Di Senapelan beliau membangun negeri Senapelan dan memberi nama baru untuk kota ini dengan nama Pekanbaru dan meneruskan pekerjaan ayahandanya membuka hubungan dengan negeri-negeri tetangga seperti Kampar, Gunung Sahilan, Payakumbuh dan Koto Baru, dengan membuat jalan darat, sehingga hubungan Pekanbaru dapat lebih cepat dengan negeri-negeri tetangga dengan mempergunakan Pedati Kerbau dan Perahu dan rakit penyeberangan.             Syarif Ali sebagai panglima perang atas persetujuan Sultan menguasai Petapahan yang terletak jauh di Hulu Sungai Siak, karena daerah itu merupakan tempat dagang yang terkemuka banyak komoditi dagang yang sangat menguntungkan sehingga banyak mendatangkan pemasukan pendapatan ke wilayah kerajaan. Menyikapi tindakan Syarif Ali tersebut, Haji Padang yang memimpin Petapahan meminta bantuan dari Limo Koto dan yang Dipertuan Muda Tengku Endut di Siak agar pelayaran di sungai Siak aman dan tidak terganggu serta memihak kepada Petapahan dan menghalau kembali Syarif Ali dari Pekanbaru. Yang Dipertuan Muda Tengku Endut datang ke Petapahan menyaksikan peristiwa itu dan disambut oleh Haji Padang lalu menyampaikan bahwa Petapahan tidak memusuhi kerajaan Siak hanya Syarif Ali saja datang menyerang. Oleh karena itu mengharapkan Yang Dipertuan Muda Tengku Endut dapat menarik Syarif Ali dari Petapahan dan dikembalikan ke posnya di Bukit Batu di Kuala Sungai Siak. Masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali tidak begitu lama yakni selama lebih kurang dua tahun saja. Beliau melanjutkan pekerjaan yang
dirintis ayahandanya yakni memperbesar pekan sehingga menjadi pusat bandar dagang yang ramai dikala itu. Pekerjaan ini pula menyebabkan Belanda semakin membenci Sultan. Sementara itu Raja Ismail ( Sultan ke-3) yang sudah tersingkir oleh Sultan Alamuddin Syah dan keluar dari Siak, selama itu pula ianya mengadakan pengacauan di laut sampai ke Palembang, Jambi, Bangka, Belitung dan Kalimantan. akibatnya perdagangan sepanjang laut menjadi tidak aman sehingga merugikan perdagangan Belanda. tahta Siak akan tetapi Belanda menolak permohonan tersebut. Namun pemerintah Belanda di Melaka memberikan pengampunan kepada Sultan Ismail sepupu Sultan Muhammad Ali, namun Sultan Ismail tidak merubah sifatnya dan tetap melakukan perampokan di Selat Melaka terutama kepada perahu-perahu Bugis. Dendamnya terhadap Bugis masih tersemat dihatinya bermula semenjak masa Datok dan ayahandanya. Pernah Sultan Ismail mengirim surat terbuka kepada Gubernur Belanda di Melaka yang menyatakan bahwa dia bepaling kepada Kompeni Belanda mendapat restu mendatangi Siak untuk bertemu Sultan Muhammad Ali dengan maksud untuk hidup bersama damai dan bersahabat persaudaraan dengan Sultan Muhammad Ali, karena mengingat pesan ayahandanya Sultan Mahmud bahwa tidak boleh berperang sesama saudara. 36 Sultan Ismail diundang oleh Gubernur Belanda ke Melaka bersama Sultan Muhammad Ali, tetapi Sultan Ismail tidak datang karena beliau membantu Terengganu dalam peperangan dengan Kelantan. Maka pada tahun 1779 barulah Sultan Ismail datang ke Siak dengan mengharapkan bantuan dari Rokan, Panai dan Asahan akan tetapi rencananya tidak berhasil. Di lain waktu Gubernur Belanda di Melaka mendapat surat dari Sultan Muhammad Ali yang memohon bantuan menghadapi Sultan Ismail ini dan Belanda mengirimkan puluhan pencalang ke Siak. Melihat keadaan yang demikian Sultan Ismail mengirim surat kepada Gubernur Belanda di Melaka bahwa beliau datang ke Siak tidak memusuhi saudara sepupunya. Dia datang dengan damai. Kompeni Belanda dalam hal ini tidak memihak kepada kedua mereka bersaudara itu, yang penting bagi Kompeni dapat menyelamatkan kepentingan Kompeni di Siak sesuai dengan janji yang dibuat pada tahun 1761. Ketika Sultan Muhammad Ali menderita sakit pada tahun 1782, maka Sultan Ismail yang menggantikan pekerjaan Sultan. Sultan Ismail memerintah menggantikan posisi Sultan Muhammad Ali. Oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa Sultan Ismail memegang kembali pimpinan di Kerajaan Siak. Menurut catatan Anrooij (1885) tidak banyak yang dilakukan sultan ini karena baginda selalu dikejar-kejar oleh Syarif Usman menantu Raja Alamuddin Syah. Akhirnya Syarif Usman berhasil mengusir Sultan Ismail dari Pelalawan yang pada ketika itu menjadi daerah takluk Kerajaan Siak.37
Beranda
Lihat versi web
_______________________________
36  Ibid., 37 Keterangan lanjut lihat tulisan H.A.Hijmans Anrooij yang berjudul Nota Omtrent Het Rijk Van Siak, diterbitkan oleh TBK, XXX, pada tahun 1885, hlm. 259-263. Catatan tersebut menjadi simpanan Perpustakaan Nasional Jakarta dengan nombor kod XXI-1305 Posisi Sultan Ismail menggantikan Sultan Muhammad Ali terlihat pula dalam memimpin sidang-sidang di Balai Kerapatan. Pada suatu ketika yakni sidang sedang berjalan sebagaimana mestinya dan akhirnya sidang tiba-tiba secara mendadak Sultan Ismail mangkat di Balai tersebut ketika sedang memimpin persidangan. Sehingga digelar marhum mangkat di Balai. Beliau dimakamkan di tempat pemakaman Mempura tepatnya sebelah barat makam ayahandanya Sultan Mahmud Abdul Jalil Muzaffar Syah yang digelar dengan Marhum Mempura Besar. Tidak banyak yang dilakukan Sultan kelima ini selain memusatkan perhatian kepada pekan sebagai pusat perdagangan. Hasilnya memang Nampak dan berpengaruh kepada kerajaan sehingga pekan yang mulanya sepi menjadi ramai karena banyak suku lain berdatangan ke pekan untuk melakukan transaksi perdagangan. Selain itu Sultan juga membangun dan memperbesar Ibu kota kerajaan. Sehingga Bandar yang telah berubah menjadi pekan yang baru akhirnya menjadi ramai. Oleh karena itulah, ketika beliau mangkat diberi gelar dengan marhum Pekan dan dimakamkan di komplek pemakaman Kampung Bukit Pekanbaru tepatnya di samping Mesjid Raya Pekanbaru Sekarang.

Tengku Yahya
Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah
(sultan siak 6)(1782m-1784m)
(marhum mangkat di dungun)


Tengku Yahya adalah putera pertama Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah dengan Isterinya Tengku Tipah puteri Sultan Mansur Marhum Janggut dari Kerajaan Terengganu. Dari perkawinan Sultan Ismail dengan Tengku Tipah mendapat satu orang anak laki-laki yang diberi nama Tengku Yahya dan satu orang anak perempuan bernama Tengku Puteri.             Setelah Tengku Yahya dinobatkan menjadi Sultan Siak tahun 1781 dengan gelar Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah. Tidak banyak yang dilakukan oleh Sultan yahya ini karena pada masanya banyak timbul pertentangan di kalangan keluarga kerajaan. Untuk menghindari perselisihan, maka Sultan Yahya memindahkan ibukota kerajaan sebagai pusat pemerintahan dari Bandar Senapelan ke Mempura. Sedangkan panglima perang kerajaan Siak tetap diberikan kepada Syarif Ali putera Syarif Usman dangan isteri Tengku Embong Badariah.             Selama Sultan Yahya memegang pemerintahan Kerajaan Siak, Tengku Syarif Ali kadangkala melanggar kepercayaan yang diberikan sehingga Sultan Yahya kewalahan dan akhirnya menimbulkan permasalahan bagi kerajaan. Ambisi Syarif Ali sudah kelihatan untuk menjadi Sultan dan menjurus kepada melakukan cop de tat ( mengambil alih kekuasaan). Hal yang demikian membuat Sultan Yahya banyak menguras tenaga dan fikiran untuk mengatasi masalah dan perilaku
yang dibuat oleh Syarif Ali. Dengan alasan demikianlah Sultan Yahya memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Siak tersebut, dengan maksud dapat membenahi kembali kerajaan Siak yang pernah dibangun oleh Datoknya di Mempura. Pada pemerintahan Sultan Yahya, kompeni Belanda terus merongrong Sultan Yahya agar perjanjian tahun 1761 harus ditaati. Disamping itu Siak membantu Selangor karena Selangor dikuasai oleh Bugis. Selangor dapat diduduki sehingga Sultan Ibrahim Raja Selagor dapat disingkirkan. Untuk mengatur pemerintahan Selagor maka Syarif Ali didudukkan sebagai pemegang kerajaan Selagor. Tidak lama menduduki Selagor kemudian Syarif Ali diusir oleh Sultan Ibrahim lalu Syarif Ali kembali ke Siak. Sementara di Siak, Sultan Yahya telah mentaati perjanjian dengan Kompeni Belanda yang dibuat oleh Raja Alam pada tahun 1761 dengan membuat perjanjian baru pada tanggal 12 Maret 1783. Perjanjian tersebut mengandung isi bahwa timah yang berasal dari Rokan akan dijual kepada kompeni Belanda. Akibatnya Sultan Yahya mendapat pujian dari kompeni sehingga Belanda memberi bantuan senjata berupa senapan, meriam dan mesiu untuk dapat menghadang pasukan Raja Haji dari Riau. Perseteruan Sultan Yahya dengan Syarif Ali semakin memuncak. Syarif Ali anak Tengku Embung Badariah dengan Syarif Usman datang menyerang Sultan Yahya. Syarif Ali mengambil kekuasaan kerajaan Siak dari tangan dua pupunya itu. Sultan yahya meninggalkan istana dengan hati yang sedih. Kemudian beliau tinggalkan negeri Siak yang dibangun oleh moyangnya Raja Kecik yang berketurunan Melayu sejati. Sultan Yahya keturunan Melayu Johor pergi membawa diri atau menyingkir ke Kampar dan ke Retih di tempat Tengku Akil puteraTengku Alamuddin Syah. Tiada lama di sana beliau meneruskan perjalanannya ke Melaka untuk melanjutkan pulang keliau negeri ibundanya di Terengganu dalam rangka menziarahi makam nenek moyangnya. Setelah beberapa tahun di Terengganu beliau tinggal di : Kampong Che Lijah Dungun. Sultan Ahmad putera Tengku Zainal Abidin II Sultan Kerajaan Terengganu, menggantikan ayahandanya menjadi Sultan Terengganu ke-5, Sultan Ahmad Syah kemudian menikah dengan Tengku Puteri anak Raja Siak dengan mas kawinnya ialah Wilayah Dungun. Dengan istri beliau Tengku Puteri beliau mendapat seorang putera yang bernama Tengku Daud semasa pemerintahan Sultan Ahmad Syah beberapa kaum kerabat dari Siak datang ke Terengganu dan mendapatkan tempat dalam pemerintahan negeri Terengganu diantaranya Tengku Wook yang
Beranda
Lihat versi web
dilantik menjadi pemerintah keamanan. Setelah Sultan Ahmad mangkat beliau bergelar marhum Parit. Oleh karena itulah Sultan Yahya tinggal di Kampong Che Lijah di wilayah Dungun. Pada tahun 1784 Sultan Yahya mangkat di Dungun karena mengalami sakit stress dan dimakamkan di Dungun dengan Gelar Marhum Mangkat di Dungun
Tengku Syed Ali
Sultan Assyaiyidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin
(sultan siak 7)(1784m-1810m)
(marhum koto tinggi,1februari 1821)


            Ketika Sultan Yahya meninggalkan kerajaan, pemerintahan dijalankan oleh Tengku Udo Syarif Ali artinya cup detat yang dilakukan Tengku Udo Syarif Ali terhadap Sultan Yahya berhasil sehingga ianya dapat menduduki kerajaan dan mengambil alih kekuasaan. Sultan Yahya bersama pengikutnya pergi ke Terengganu melewati Retih dan melanjutkan perjalanan ke Melaka dan Singapura dan Johor. Lamanya dalam perjalanan melalui Selat Melaka dan laut Cina Selatan yang luas dan Ganas, akhirnya Sultan Yahya sampai di Terengganu dan tinggal di tanah anaknya di kampung Katijah Dungun. Disanalah beliau menghabiskan hari tuanya, karena hatinya sedih dan kecewa yang dibuat oleh sepupunya membuat beliau berfikir terus dan tidak dapat dihilangkan begitu saja. Akhirnya beliau jatuh sakit dan tidak beberapa lama kemudian Sultan Yahya mangkat dan dimakamkan di tepi sungai Dungun di Kampong Katijah, kemudian beliau bergelar Marhum Mangkat di Dungun. Dengan mangkatnya Sultan Yahya, maka segera dinobatkanlah Tengku Udo Sayed Syarif Ali sebagai Sultan Siak ke-7 dengan gelar  Sultan Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin pada tahun 1784. Semenjak itulah Sultan-sultan kerajaan Siak diberi gelar Assyaidis Syarif keturunan Syarif Usman Syahabuddin yang pernah menjadi Panglima Perang pada masa Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah tahun 1766-1780. Sedangkan sebelum ini mulai dari Sultan pertama hingga
sultan keenam berasal dari keturunan Melayu Johor. Sultan Syarif Ali mempunyai nama kecil yaitu Tengku Udo. Tengku Udo adik beradik berjumlah delapan orang yakni : 1. Tengku Long Tih bersuamikan Sayid Syaban bin Husin Barakbah dan mendapat seorang anak lelaki yang bernama Sayid Alwi. 2. Tengku Udo (Syarif Ali) 3. Tengku Besar Syarif Abdurrahman (Raja di Kerajaan Pelalawan) 4. Tengku Panglima Besar Syarif Ahmad (yang Dipertuan Besar Tebing Tinggi atau Selat Panjang sekarang) 5. Tengku Ngah Kelakap 6. Tengku Hitam bersuamikan Syarif Ali bin Sayed Husen 7. Tengku Buntat 8. Tengku Bujang Sayid Hamid, saudara seayah lain ibu bernama Encik Jebah. Pemerintahan Sultan Syarif Ali dijalankan dengan cara merangkul adik-adik dan saudara yang terdekat dengannya supaya memudahkan jalan pemerintahannya. Antara lain Said Abdul Rahman gelar Tengku Besar, Tengku Busu Said Ahmad bergelar Tengku Panglima Besar Siak, Tengku Long Putih dan Tengku Hitam. Semua saudaranya diberikan tugas dan jabatan dengan maksud untuk menjaga stabilitas politik di dalam negeri dan menjamin kesetiaan mereka dalam membenahi dan mengembangkan kejayaan Kerajaan Siak.38 Sultan Syarif Ali memindahkan pusat kerajaan Siak dari Mempura diseberang sungai Siak dan kemudian pusat pemerintahan diberi nama Siak Sri Indrapura, Siak nama kerajaan lama setelah kerajaan Gasib. Sri adalah  sinar yang indah, Indra adalah kayangan sedangkan Pura adalah Kota, pusat pemerintahan ini dipilih di atas tanah pasir bulan yang terletak disebuah Tanjung yang menjorok dari anak sungai Kelakap dan anak sungai Melengo sampai batas Buantan di muka kuala sungai Tonggak di tepi sungai Siak. Di tanjung yang menjorok itu dibuat benteng pertahanan dari tanah setinggi tujuh meter, sehingga memudahkan melihat dari kejauhan kapal-kapal dagang maupun kapal musuh-musuh yang datang. Oleh karena itu pusat kerajaan disebut Koto Tinggi. Benteng pertahanan dibuat dari tanah, yang tanahnya diambil dari penggalian tanah, sehingga merupakan parit besar yang disebut Suak, maka itu di kota Siak ada
_______________________________
38   Keterangan ini dapat dibaca di dalam tulisan Tenas Effendy dalam buku Lintasan Sejarah Kerajaan Siak yang diterbitkan pada tahun 1972. Suak yang besar dan dalam bernama Suak Lanjut, Suak Kampung Dalam atau Suak Istana, Suak Alur Santai. Suak ini disamping untuk perlindungan tembakan senjata api atau meriam musuh juga digunakan untuk mengeringkan air tanah rawa di sekeliling kota Siak Sri Indrapura. Pekerja-pekerja membuat benteng ini adalah tawanan-tawanan perang yang ditangkap oleh Sultan Syarif Ali, baik sebagai perampok lanun maupun orang-orang kalah perang. Masa pemerintahan Syarif Ali pemerintahan dipusatkan di kota Siak Sri Indrapura, kemudian baginda mengatur tata kota kerajaan. Demikian juga mengatur mengatur perkampungan serta puak-puak Datuk Empat Suku. Perkampungan puak Datuk Tanah Datar disebut Kampung Tengah, perkampungan puak Datuk Pesisir dimulai dari Kampung Tengah sampai ke sungai Melango sedangkan perkampungan puak Datuk Lima Puluh Kampung Tengah sampai ke Sungai Kelakap dan sebagian Kampung Mempura sementara perkampungan puak Datuk Kampar sebagian di Kampung Rempak. Sedangkan kaum kerabat dan orang besar Istana serta orang-orang bertugas dalam pemerintahan baik sebagai Imam Besar kerajaan dan imam Masjid, Bilal, Qadhi dan para Panglima, Hulubalang, orang sebagai penjawat Sultan, termasuk tukang masak tinggal di kampung dalam dilingkungan Istana. Pada masa pemerintahan Sultan Sayid Syarif Ali, kerajaan Siak mencapai puncak jayanya dalam hal perluasan wilayah kerajaan Siak karena beliau mewarisi kemahiran ayahandanya Syarif Usman di medan perang. Sultan dibantu oleh saudara-saudaranya yang sama-sama mewarisi kebolehan ayahandanya. Daerah takluk kerajaan Siak sampai ke Sambas di Kalimantan sementara itu daerah-daerah tetangga sudah lebih dahulu menjadi jajahan kerajaan Siak. Adapun daerah takluk tersebut sebagai berikut : 1.   Kota Pinang 2.   Asahan 3.   Kualuh 4.   Bilah 5.   Panai 6.   Deli 7.   Langkat 8.   Batubara 9.   Serdang 10. Pelalawan – Sambas
11.Bedagai 12.Temiang
Dalam usaha mengembangkan wilayah kerajaan Siak, Kompeni Belanda tidak ikut campur, karena menurut Kompeni Belanda yang penting perjanjian tahun 1761 dapat dilaksanakan. Pengembangan wilayah kerajaan Siak dengan maksud untuk menyatukan kerajaankerajaan Melayu di sepanjang pantai Timur Pulau Sumatera dan di Selat Melaka. Sebelum Sultan Syarif Ali menyerang kerajaan Melayu di Pesisir pantai Timur selat Melaka, beliau memperkuat pertahanan dalam negeri dengan menaklukkan Kubu, Bangko dan Tanah Putih karena wilayah ini telah ditaklukkan oleh pemerintahan Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah. Akibat kurang mendapat perhatian dari pusat kerajaan masa itu di Buntan ataupun di mempura, maka wilayah ini mulai membuat kekuatan sendiri dan membangkang. Oleh karena itu Sultan Syarif Ali menyatukan kembali kesatuan Siak untuk siap memperluas wilayah kerajaan yang berumpun Melayu. Penaklukan berikutnya ditujukan kearah Pelalawan yang dikenal kerajaan Kampar di Pekan Tua dimana tempat makamnya Sultan Mahmud Syah I Melaka yang disebut Marhum Kampar. Peperangan Siak dengan Pelalawan ini sangat sengit dan memakan waktu yang lama. Penyerangan pertama dilaksanakan melalui sungai Kampar yang luas dan mengarungi Bono yang sangat ganas jika air pasang penuh. Berpuluh kapal penjajab Siak datang menyerang tetapi mengalami kegagalan karena sungai Kampar semakin ke hulu semakin sempit, apalagi kedudukan kerajaan di dalam anak sungai yang sempit, sehingga pasukan pelalawan mempergunakan pertahanan dengan melintangi sungai dari pohon-pohon kayu yang besar. Akhirnya armada perang Siak dibawah pimpinan Sayid Abdul Rahman kembali ke Siak. Kemudian dilakukan penyerangan kedua melalui daratan, dimana pasukan Siak berjalan kaki dari Siak menuju Pelalawan sedangkan di laut atau di sungai pun didatangkan puluhan kapal dan penjajab dari Siak yang langsung dipimpin oleh Syarif Ali. Pelalawan tidak menyangka bahwa angkatan perang Siak sudah masuk kota Pelalawan, akhirnya Pelalawan menyerah dan takluk ke kerajaan Siak. Raja pertama kerajaan Pelalawan keturunan Arab Melayu adalah Tengku Sayid Abdurrahman adik dari Sultan Syarif Ali. Maka semenjak itu Siak dan Pelalawan berdamai menjadi satu dengan ketentuan batas kerajaan Siak dengan Pelalawan adalah batas tangga Istana Kesultanan
Siak dengan Istana Sultan Pelalawan. Raja Pelalawan tidak dipanggil Sultan, hanya dipanggil Tengku Besar kerajaan Pelalawan. Tengku Besar Syarif Abdurrahman mempunyai beberapa orang putera yang meneruskan pemerintahan di kerajaan Pelalawan yaitu: 1. Sayid Syarif Hasim Abdul Jalil Fakhruddin, gelar Marhum Muda 2. Sayid Syarif Ismail Abdul Jalil Fakhruddin, gelar Marhum Baru 3. Sayid Syarif Hamid Abdul Jalil Fakhruddin, gelar Marhum Saleh 4. Sayid Syarif Jakfar Abdul Jalil Fakhruddin, gelar Marhum Tengah 5. Sayid Syarif Abu Bakar Abdul Jalil Fakhruddin, gelar Marhum Bungsu. Penyerangan ke Sambas dilakukan oleh Sultan Syarif Ali dengan membawa 30 perahu membantu Sayid Abdul Rahman yang sedang berkeliaran di kepulauan Tambelan dan Natuna. Armada Syarif Ali tiba di muara sungai Sambas. Dalam perjalanan Sultan Syarif Ali mendapat bantuan dari Sultan Mahmud Lingga yang memerintahkan kepala-kepala suku di pulau-pulau, ikut membantu Sultan Syarif Ali. Pada waktu menyerang Sambas, di dalam pasukan Sultan Syarif Ali ada seorang perempuan yang dipanggil Cik Puan yang memimpin Perahu perang yang disebut Penjajab. Cik Puan ikut berperang menyerang Sambas. Cik Puan seorang perempuan yang gagah berani memimpin anak buahnya dengan tangkas menghadang musuh, beliau berpegang di tiang layar penjajabnya jika sedang berperang di Laut. Cik Puan tidak diketahui dari mana asalnya, karena belum dapat ditemukan litaratur tentang dirinya. Akan tetapi dari cerita-cerita orang tua-tua Cik Puan berasal dari Bukit Batu. Dia seorang Ratu perkasa di kerajaan Siak yang makamnya berada di pemakaman Koto Tinggi Siak Sri Indrapura. Adapula yang menceritakan bahwa Cik Puan Isteri Sultan Syarif Ali dari negeri Tembelan Riau. Selain itu kekuatan angkatan perang Sultan Syarif Ali dibantu pula lima buah kapal dari Pontianak yang dipimpin oleh Sayid Hamid. Pemerintah Belanda di Melaka tidak berdaya untuk mengendalikan Syarif Ali dan berusaha menenangkan Syarif Ali, baik semasa beliau bersama dengan Sultan Muhammad Ali maupun semasa Sultan Yahya. Kompeni Belanda mengingatkan supaya Syarif Ali tidak ceroboh atau membuat kerusuhan dengan Belanda dan disarankan (Tengku Bujang) putera Sayid Abdul Rahman, supaya Syarif Ali sebaiknya berminat meningkatkan perdagangan dengan Belanda dan
tidak bergabung dengan musuh-musuh Kompeni. Satu-satunya cara pemerintahan Belanda di Melaka untuk membuat Syarif Ali tidak berbahaya adalah dengan jalan perundingan dan mengusahakan membuat pekerjaan-pekerjaan yang tenang dan aman. Sewaktu Syarif Ali menjabat sebagai panglima perang pada masa Sultan Muhammad Ali, ia pernah membuat surat yang memaksa Gubernur Belanda Couperus mengambil langkah-;angkah untuk bersatu dan menyapu bersih lanun-lanun di Selat Melaka. Dengan demikian Syarif Ali bebas menyatukan Raja-raja Melayu di sepanjang pantai timur pulau Sumatera. Dan setelah beliau dinobatkan menduduki tahta kerajaan Siak, Sultan Syarif Ali melanjutkan pengembangan wilayah kerajaan Siak dalam mempersatukan kerajaan-kerajaan Melayu di Selat Melaka, sehingga persetujuan dengan Belanda yang dibuat oleh Sultan Syarif Ali adalah merupakan tipu belaka dan mengelabui Belanda supaya jangan ikut campur urusan kerajaan Siak. Syarif Ali adalah Sultan Kerajaan Siak yang sangat pemberani dan ahli dalam mengatur strategi perang. Beliau adalah seorang yang bijaksana dan dapat mengatur dan menempatkan orang-orangnya dalam mengatur pemerintahan dan mengatur strategi perang menghadap musuh. Beliau dibantu oleh orang-orang yang setia terutama adik-adiknya sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini. Datuk Laksemana Chamis yang sangat setia membantu Sultan Syarif Ali pada pertempuran di laut sampai hayatnya, setelah beliau meninggal Laksemana Chamis meninggal dunia kemudian dimakamkan di Bukit Batu, makam Datuk Laksemana Chamis terletak di Bukit Batu, nisan pusaranya memakai tiang kapal layarnya. Dalam nota Omtrent Het Rijk Van Siak tertulis bahwa Koto Tinggi yang dijadikan pusat pemerintahan kerajaan oleh Syarif Ali pada mulanya merupakan sebuah benteng kuat untuk pertahanan dan keamanan kerajaan Siak. 39 pada tahun 1813 Sultan Syarif Ali mangkat dan dimakamkan secara kebesaran adat Raja-raja di Koto Tinggi, disamping benteng yang pernah di buatnya. Akhirnya kawasan ini dijadikan sebagai komplek pemakaman Raja-raja dan kaum kerabatnya, disinilah Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin dimakamkan yang pertama, sehingga beliau digelari” Marhum Koto Tinggi”.          
_______________________________
39  Catatan Anrooij, Ibid.,
Tengku Syed Ibrahim
Sultan Assyaiyidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin
(sultan siak 8(1810m-1827m)(marhum pura kecil)


Penerus tahta kerajaan adalah putera Sultan Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin anaknya yang bernama Ibrahim yang dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Sultan Assaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Kahaliluddin. Sebenarnya kondisi kesehatan Sultan Ibrahim tidak mendukung terhadap tugas yang diembannya sebagai pemimpin kerajaan akan tetapi hanya beliaulah sebagai pewaris dan penerus tahta kerajaan.  Oleh karena itu untuk membantu beliau dalam urusan kepemerintahan maka ditunjuklah Tengku Sulung Muhammad bin Panglima besar Sayid Ahmad sebagai Panglima Besar kerajaan Siak.
Sultan Ibrahim tetap sebagai pewaris tahta kerajaan Siak. Tungku Sulung Muhammad adalah putera Tengku Busu Said Ahmad yang menyandang gelar Panglima Besar. Tengku Sulung Muhammad beristerikan adik perempuan Sultan Syarif Ibrahim yang bernama Tengku Puan atau Syarifah Saidah.
Dikarenakan keadaan Sultan demikian, maka Inggris dan Belanda membujuk dan mendekati Sultan untuk dapat bekerjasama dengannya. Pada tanggal 31 Agustus 1818 diikat suatu perjanjian dagang antara Sultan Ibrahim dengan Kolonel William Forquhar, kepala kompeni Belanda Timur Inggeris di Penang. Bahkan Raffles juga ikut untuk
mengikat perjanjian dengan Siak, bukan hanya masalah perdagangan akan tetapi juga hal-hal lain, seperti keamanan dan hubungan politik. Keinginan Raffles ini diketahui oleh pemerintah Belanda di Melaka. Untuk mengecek keberadaan itu Belanda mengirim Kapten D.Buys ke Siak dan membuat perjanjian dengan Siak pada tanggal 16 Desember 1822, perjanjian berlangsung di Bukit Batu. Isi perjanjian tersebut bersepakat bahwa Siak tidak boleh berhubungan dagang dengan Negara lain selain dengan Belanda. Sultan Ibrahim mengirim surat kepada Gubernur Inggeris di pulau Pinang melaporkan isi perjanjian antara belanda dengan Siak, tetapi tidak mendapatkan tanggapan. Kemudian Sultan Siak mendapat peringatan dari pulau Pinang mengatakan bahwa tidak boleh merobah apapun yang telah dibuat dalam perjanjian yang telah dijalin antara Sultan Ibrahim dengan Farquhar Inggeris pada tahun 1818.
Di dalam masalah monopoli perdagangan di Negeri Siak telah mulai diperebutkan antara Inggeris dan Belanda, karena Negeri Siak merupakan sumber kehidupan Kompeni Belanda dan Inggeris, karena di Negeri ini banyak terdapat sumber alam dan hasil bumi yang perlu digerogoti.
Setelah Sultan Ibrahim membuat perjanjian dengan Belanda pada tahun 1823 di Bukit Batu Siak, maka kemudian datang pula orang Inggeris yang dipimpin oleh Anderson dengan maksud untuk memperkuat perjanjian antara Inggeris dengan Sultan Ibrahim yang pernah dibuat pada tahun 1818 yang dipimpin oleh Forquhar. Isinya perjanjian mengenai hubungan dagang antara Siak dengan Kompeni Inggeris. Hal ini membuat Sultan Ibrahim kebingunan yang mana akan dituruti karena kedua-dua bangsa Eropa ini mempunyai kepentingan perdagangan di Siak.
Perjanjian Sultan Ibrahim dengan Inggeris yang dipimpin oleh Anderson tahun 1823 dan merupakan lanjutan perjanjian tahun 1818, berarti Sultan Ibrahim sudah melanggar perjanjian yang dibuat dengan Kompeni Belanda yang dipimpin oleh D. Buys tahun 1822. Dengan adanya pelanggaran perjanjian ini oleh Sultan Ibrahim, maka Gubernur Belanda di Melaka mengutus Minyoot ke Siak pada tahun 1823 untuk memperbaharui serta memperbaiki perjanjian yang dibuat pada tahun 1822.
Sultan Ibrahim sangat lemah menghadapi politik adu domba
Beranda
antara Sultan dengan Inggeris dan Belanda, sehingga Sultan terombang-ambing untuk mengatur ambisi-ambisi mereka merebut negeri Siak, di samping itu pula di dalam negeri sendiri terjadi silang sengketa antara keluarga-keluarga sultan dengan putera Sultan Ibrahim yang bernama Tengku Putera, hal ini dapat diselesaikan oleh Sultan Ibrahim.
Kesepakatan yang dilakukan Sultan dengan Inggeris dan Belanda sangat merugikan kerajaan Siak. Demikian juga wilayah kerajaan semakin berkurang jadinya. Menuntut catatan Anrooij (1885) bahwa Sultan Ibrahim sebenarnya setelah kematian ayahandanya menderita sakit, namun hal itu tidak diketahui oleh orang ramai kecuali hanya beberapa pihak istana saja. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh Inggeris dan Belanda.40   
Meskipun sultan tidak aktif dalam urusan kepemerintahan namun dalam masa pemerintahannya sempat pula dibangun sebuah istana kerajaan di Kuala Mempura Kecil. Istana tersebut digunakan untuk tempat peristirahatan sultan. Sultan wafat di sungai Mempura Kecil dan dimakamkan di komplek pemakaman Koto Tinggi Siak Sri Indrapura dengan gelar Marhum Mempura Kecil. Apakah itu yang dinamakan Kota Selamah?
Tengku Syed Ismail
Sultan Assyaiyidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin
(sultan siak 9)(1840m-1864m)
(marhum indrapura)

           
            Sebenarnya pada masa pemerintahan sultan Ibrahim terjadi perselisihan antara anak-anaknya yang berambisi mewarisi kerajaan. Sementara itu Sayid Muhammad yang merupakan putera Tengku Busu (adik Sultan Syarif Ali) yang telah menikah dengan Tengku Mandak bersepakat dengan Tengku Sayid Hasim yang telah menjabat sebagai Tengku Besar Pelalawan (anak Sayid Abdul Rahman), akan menjadi Raja Muda di Siak. Oleh karena itu perebutan kekuasaan tidak dapat dinetralisir lagi kerena banyak yang berambisi untuk menjadi sultan. Sehubungan dengan itu, maka Dewan Kerajaan bermusyawarah dan hasilnya menetapkan serta mengangkat salah seorang putera Sayid Muhammad bin Sayid Ahmad (adik Syarif Ali) yang bernama Tengku Sayid Ismail dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Assaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Saifuddin yang ketika itu masih kecil.
            Sultan Ismail adalah anak Tengku Puan (Syarifah Saidah) dan cucu dari Syarif Ali (Sultan Siak ke-7). Ayahanda Tengku Ismail ialah Tengku Sulung Muhammad atau Sayid Muhammad anak dari Tengku Busu Sayid Ahmad Yang Dipertuan Muda Tebing Tinggi. Sultan Syarif Ismail tiga beradik seibu dan sebapak yaitu :
1.  Tengku Syarif Hasim dengan nama kecil Tengku Kecil Besar.
Pada masa Sultan Syarif Ismail memerintah, ianya diangkat sebagai panglima Besar kerajaan Siak. Beliau mangkat di Pekanbaru dan jenazahnya dimakamkan di komplek pemakaman Koto tinggi Siak Sri Indrapura
2. Tengku Putera atau nama lain Syarif Ahmad. Pada masa Sultan Ismail memerintah diangkat sebagai Mangkubumi Onder Kuning. Tengku Putera mangkat di Bukit Batu dan jenazahnya dipindahkan ke komplek pemakaman Koto Tinggi pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasim dan diberi gelar marhum Mangkunegara.
3. Tengku Syarif Kesuma yang dikenal dengan nama Sayid Kasim. Pada masa Sultan Syarif Ismail beliau diangkat sebagai Panglima Besar Kerajaan Siak menggantikan abangnya Tengku Sayid Hasim. Kemudian nantinya diangkat menjadi Sultan Siak.
Sultan Syarif Ismail mempunyai saudara sebapak lain ibu (ibu yang bernama Encek Jentera) yaitu Tengku Endut dan Tengku Umar. Adapun yang menjadi permaisuri Sultan Syarif Ismail adalah anak Sultan Syarif Ibrahim yang bernama Tengku Syarifah Zahrah dan diberi gelar Tengku Agung (I) dan setelah mangkat diberi gelar Marhumah Agung. Kemudian Sultan Syarif Ismail menikah lagi dengan Tengku Mas Intan dengan gelar Tengku Besar. Tengku Mas Intan adalah anak perempuan Panglima Besar Muda Syarif Toha atau dikenal dengan marhum Tebing Tinggi.
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ismail terjadi pemindahan kedudukan Datuk Laksemana yang sebelumnya berkedudukan di Bengkalis kemudian dipindahkan ke Bukit Batu. Perpindahan ini terjadi semasa Datuk Laksemana Chamis. Datuk Laksemana Chamis adalah putera Encik Ibrahim (yang bergelar Datuk Laksemana Sri Maharaja Lela Setia Diraja bin Datuk Bandar Jamal dengan isterinya Encik Saimah. Datuk Laksemana Chamis dilantik sebagai Datuk Laksemana pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ali.
Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim, terjadi persaingan antara puteranya yang bernama Tengku Putera dengan Tengku Ismail putera Tengku Muhammad. Keduanya berkeinginan untuk menduduki tahta kerajaan Siak dengan dengan mangkatnya Sultan Ibrahim, Datuk Empat Suku mengadakan musyawarah untuk menentukan pengganti Sultan Ibrahim, dengan hasil mufakat Datuk Empat Suku maka terpilih
Tengku Ismail sebagai Sultan Kerajaan Siak ke-9, dinobatkan pada tahun 1815 dengan gelar Sultan Assaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Saifuddin.
Sultan Assaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Saifuddin, sultan yang sangat sederhana tingkah laku kehidupannya, beliau mempunyai Istana yang sangat sederhana yang terletak di pinggir Sungai Siak, terbuat dari papan dan kayu nibung dan bertiang tinggi, beratap Melayu Lipat Kajang dengan diberi nama “ Istana Melintang”, ruang tengah istana cukup luas dan ada sebuah ruangan yang khusus untuk menerima tamu yang dihormati.
Waktu Tuan Assisten Residen E. Netscher bersama J.S.G. Gramberg menghadap Sultan Ismail. Sultan Ismail memakai pakai baju Melayu beledru bewarna kuning yang ketat, sedang didadanya tersemat sejenis bintang berlian. Sultan diikuti oleh para pengikutnya ada yang membawa tepak sirih dari emas, payung kuning, keris dan pedang yang bernama “sundang” yang indah. 41 Candu memang dibenarkan masuk di wilayah kerajaan Siak dengan cukai yang diambil oleh Belanda, candu adalah sengaja disebarkan untuk penduduk Siak dengan maksud oleh pemerintah Belanda agar rakyat bias semakin bodoh dan malas. Dalam pengaturan pemerintah banyak yang berserakkan. Pemerintahan di kerajaan Siak dilaksanakan oleh Mangkubumi kerajaan, Pangeran Tengku Sulung Negara, beliau tidak suka mengisap candu, disegenap kesempatan adanya perbincangan dan pertemuan dengan orang asing ditangani oleh Mangkubumi, untuk mendapatkan suasana yang lebih baik pada negeri dan rakyatnya.
Meskipun Sultan Ismail sudah dinobatkan sebagai sultan, namun perselisihan dengan saudaranya dari keluarga Sultan Syarif Ibrahim tidak selesai bahkan tetap berlanjut dan berketerusan. Di dalam negeri terjadi beberapa pemberontakan seperti di Bangko, Kubu dan Tanah Putih yang diambil oleh Tengku Do. Pemberontakan ini gagal karena Tengku Do tertembak mati dan dimakamkan di Kota Ringin di seberang Kota Buantan.
_______________________________
41 J.S.G. Gramberg Btv-Bks.      
Walaupun pemberontakan ini sudah dapat dipatahkan, tetapi
pertentangan di kerajaan Siak masih berlangsung terus antara Tengku Putera dengan Sultan Ismail, Tengku Putera banyak mempunyai pengikut yang sulit untuk dapat dikalahkan, untuk mengatasi perselisihan tersebut Sultan Ismail meminta bantuan Inggris sehingga Tengku Putera berhasil dikalahkan. Sultan Ismail meminta bantuan Wilson seorang petualang bangsa Inggris yang berada di Bengkalis, untuk dapat menghancurkan pasukan dan orang-orang Tengku Putera. Wilson bersedia membantu Sultan Ismail, asalkan ada upah atau balas jasa dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan bersama yakni Inggris diberi kesempatan masuk ke Siak. Oleh karena itu, Wilson membawa orang-orang Eropa dan Bugis yang berada di Singapura untuk membantu Sultan Ismail di Siak menghadapi pemberontakan Tengku Putera. Wilson dan pasukannya dapat memadamkan pemberontakan Tengku Putera sehingga Tengku Putera terpaksa menyingkir ke Kampar dan kemudian terus berkelana di Laut Cina Selatan.
Akan tetapi perjanjian dengan Wilson tidak semuanya dapat dipenuhi oleh Sultan Ismail. Wilson hanya dibolehkan menduduki pulau Bengkalis. Keinginan Wilson untuk menguasai pulau tersebut dan akan membuat pelabuhan guna mengawasi perdagangan dari pulau Sumatera melalui Sungai Siak dan Kampar serta Sungai Rokan tidak mendapat persetujuan dari Sultan Ismail sehingga Wilson marah dan bertindak akan menghancurkan Sultan Ismail dengan kerabat-kerabatnya. Dengan diizinkannya inggris masuk ke Siak maka akibatnya inggris menjadi sewenang-wenang terhadap Sultan dan Kerajaan. Hal ini pula yang membuat Sultan dan pembesar kerajaan meminta bantuan Belanda untuk mengusir Inggris. Belandapun menggunakan kesempatan baik ini sehingga Sultan Ismail pada tahun 1857 meminta bantuan melalui Residen Belanda di Riau untuk menghalau Wilson dari Bengkalis.
Dengan terusirnya Inggris oleh Belanda, maka Belanda membuat perjanjian dengan Sultan pada tahun 1858. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Traktat Siak. Perjanjian ini sangat merugikan kerajaan Siak sehingga dikalangan Istana timbul pertentangan dan perpecahan.
Pada tanggal 26 September 1845 Gubernur Belanda Jenderal Rochussen mengeluarkan surat perintah atas kebijaksanaannya harus diperjuangkan peluasan wilayah dengan pelahan-lahan dan cara damai, atau kalau perlu dengan kekerasan bersenjata, tetapi tindakan Gubernur ini belum mendapat persetujuan dari pemerintah pusat Belanda di
Batavia dan menyarankan yang sangat penting dapat mempertahankan wilayah yang telah kita kuasai, serta tidak boleh mengeluarkan uang yang begitu banyak, demi untuk kepentingan tanah air Belanda, karena expedisi militer itu sangat berharga harus di buat perencanaan secara matang, sebab gerakan militer itu mahal harganya. 42 Akhirnya pada tahun 1858 pemerintah Belanda dengan kerajaan Siak yang dipimpin oleh Sultan Ismail dipaksa membuat perjanjian pada tanggal 1 Februari 1858, yang isinya melepaskan Deli, Serdang, Langkat dan Asahan masuk ke dalam kekuasaan pemerintah Belanda.
Dengan adanya perjanjian Sultan kepada Hindia Belanda, maka Sultan Ismail sudah terkena perangkap dari politik Belanda yang sangat licik itu, sehingga bermcam bentuk tindakan yang dilakukan oleh Belanda kepada Sultan juga sangat menyusahkan kehidupan rakyat seperti adanya pajak nelayan, pajak monopoli pemasukan candu dan garam, bea masuk sungai, pajak lalu lintas, bagi orang asing serta pajak hasil hutan, semuanya menjadi hak Belanda. 43
Di sepanjang sungai Siak semakin ke Hulu semakin lebat dan tinggi pohon-pohon hutan, hal itu merupakan lumbung dari hasil alam seperti tumbuh-tumbuhan, minyak seminai, kemenyan, buah-buahan, berjenis-jenis kayu, rotan, damar, madu, lilin lebah, gaharu dan hewan-hewan yang ganas, seperti harimau, gajah, beruang dan ular cukup banyak berkeliaran. Di samping itu hewan-hewan lain seperti rusa, kancil, pelanduk, trenggiling, buaya cukup memberikan penghasilan bagi rakyat Siak.
______________________________
42 H.W.M. Schadee,1918, Oostkust Van Sumatera, hlm. 74.
43 Tim Penulisan, 1977, Sejarah Riau,,hlm.346
Industri kecil-kecilan banyak dilaksanakan seperti membuat tenunan kain, mewarna kain pakaian dan kerajinan lain yang dikerjakan oleh kaum wanita. Kaum laki-laki mengerjakan pekerjaan berat seperti berladang, memotong kayu, mengambil rotan dan menangkap ikan, membuat perahu atau kapal penjajab dan lain-lain. Sultan setelah dewasa berkisar umur dua puluh tahun barulah ianya naik tahta. Sebelum dewasa pemerintahan kerajaan Siak dipimpin oleh Wali Sultan
Tengku Muhammad yaitu ayahandanya anak dari Tengku Sayid Ahmad. Kemudian pada tahun 1840, pemerintahan dipegang langsung oleh Tengku Ismail sebagai penerus pemerintahan kerajaan Siak. Ayahandanya Wali Sultan Muhammad mangkat di kampung Kelapapati Bengkalis pada malam 23 Zulkaedah 1270 H/1850 M. Jenazahnya dibawa ke Siak dan dimakamkan di komplek pemakaman Koto Tinggi Siak dengan gelar Marhum Besar.
Sultan Syarif Ismail mempunyai putera dan puteri dari keempat isterinya yaitu:
1. Dengan permaisuri Tengku Agung binti Sultan Syarif Ibrahim mempunyai empat orang anak yaitu:
- Tengku Sulung Negara (Sayid Sagaf)
- Tengku Pendawa Jaya (Sayid Mahdar)
- Tengku Sukma Dewa (Syarif Usman)
- Tengku Maspuri
2. Dengan permaisuri Tengku Mas Intan binti Panglima Besar Muda Tebing Tinggi tidak mendapat anak
3. Dengan Isteri Encik Subuh dikaruniai seorang anak perempuan bernama Tengku Saidah
4. Dengan Isteri Encik Masaja dikarunia seorang anak lelaki yang bernama Tengku Dewa Nanta (Sayid Ahmad) dan seorang anak perempuan yang bernama Tengku Oneng. Selama memegang kendali pemerintahan, Sultan Syarif Ismail tidak dapat mengatasi perselisihan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga kerajaan sampai dengan wafatnya Sultan pada tahun 1864 dan digelari dengan marhum Indrapura dan dimakamkan di komplek pemakaman Koto Tinggi Siak Sri Indrapura.
Tengku Panglima Besar Syed Qasim
Sultan Assyaiyidis Syarif Qasim 1 Abdul Jalil Syaifuddin(sultan siak 10)(1864m-1889m)
(marhum mahkota,mangkat 1889m)


            Setelah Sultan Ismail mangkat, maka Dewan Kerajaan mentabalkan saudara mudanya yang bernama Tengku Syarif Kesuma bin Sayid Muhammad sebagai Sultan Kerajaan Siak dengan gelar Sultan Assaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin. Sultan ini terkenal dengan sebutan Syarif Kasim I karena nantinya cucu keturunannya juga diberi nama yang sama dengan namanya dan kemudian juga menjadi pewaris kerajaan Siak.             Syarif Kasim adalah putera ketiga Sayid Muhammad bin Sayid Ahmad Yang Dipertuan Besar dan ibunya Tengku Mandak binti Syarif Ali Sultan Siak yang ketujuh. Tengku Sayid Kasim mempunyai saudara atau adik beradik sebanyak 5 orang yaitu :                   1.   Tengku Sayid Ismail, Sultan ke 9                   2.   Tengku PuteraSayid Ahmad                   3.   Tengku Syarif Kesuma Sayid Kasim, Sultan ke 10                   4.   Tengku Endut Sayid Khalid                   5.   Tengku Umar             Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ismail Abdul Jalil Saifuddin (sultan ke-9) Tengku Syarif Kasim diangkat menjadi panglima
besar kerajaan Siak. Sedangkan abangnya Tengku Putera Sayid Ahmad sering bertentangan paham dengan Sultan Ismail (abang tertua) yang ditabalkan sebagai Sultan Siak yang ke Sembilan. Pada awalnya dewan kerajaan akan mengangkat Tengku Putera Sayid Ahmad (adik Sultan Ismail) untuk meneruskan pemerintahan kerajaan, namun dikarenakan sikap Tengku Putera Sayid Ahmad yang pada saat itu menjabat sebagai mangkubumi selalu bertentangan dengan aturan kerajaan Siak, maka Dewan kerajaan akhirnya mengangkat Syarif Kasim untuk meneruskan pemerintahan kerajaan Siak. Dalam upaya menyatukan perpecahan serta kemelut di dalam pemerintahan kerajaan, maka Sultan Syarif kasim I melakukan penertiban di kalangan istana dengan cara mengadakan musyawarah dengan Datuk Empat Suku. Hal ini dilakukan mengingat pengangkatan Syarif Kasim menjadi sultan Siak meskipun atas musyawarah dan mufakat Datuk Empat Suku, namun pemerintah Hindia Belanda ikut campur tangan dalam menetapkan siapa yang menjadi sultan, ikut campur Belanda di Kerajaan Siak semakin tajam. Belanda semakin berkuasa dalam pemerintahan dan istana kerajaan Siak. Apapun yang dilakukan sultan haruslah mendapatkan restu dari pihak Belanda. Tekanan dan keadaan seperti ini membuat sultan tidak membuat banyak sehingga tidak mempunyai inisiatif mengenai penyelenggaraan politik dan pemerintahannya. Apa yang dibuat selalu menjadi kecurigaan Belanda. Disini sudah kelihatan sifat Belanda yang ingin menguasai wilayah kerajaan menjadi wilayah jajahan Belanda. Oleh karena itulah Sultan Syarif Kasim mengarahkan pemerintahannya kepada perbaikan ekonomi rakyat dengan cara meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri. Di dalam negeri seperti membuat perkebunan kerajaan dan menganjurkan kepada rakyat membuat perkebunan getah dan menggali hasil-hasil hutan sebanyak mungkin dan hasilnya sebahagian dapat diserahkan kepada sultan yang disebut Pancung Alas dan pajak lawang. Demikian juga perdagangan berjalan lancar karena keamanan laut dapat terjaga dengan baik, perampokan agak berkurang, sehingga lalu lintas perdagangan di Pesisir Timur Sumatera menjadi damai dan banyaklah pedagang yang datang di wilayah Siak bahkan adanya orang-orang asing yang menetap ke negeri Siak seperti : orang Arab, Cina, India dan Bugis. Perkebunan merica dan lada berkembang, pelayaran sungai dan laut lancar dan aman, meskipun pemerintahan kerajaan Siak telah berada dalam bayangan kekuasaan Belanda yang semakin ketat dan
mencekam. Melihat perkembangan ini semakin membaik, pemerintah Belanda melakukan konsolidasi di daerah pesisir timur pulau Sumatera, maka pemerintah Belanda membentuk keresidenan baru yang bernama keresidenan Sumatera Timur yang berkedudukan di Bengkalis. Maksud Belanda supaya mudah melakukan pengawasan barang-barang dagang yang datang dari sungai-sungai besar di Sumatera yaitu: sungai Siak, sungai Kampar, sungai Indragiri dan sungai Rokan. Pembentukan keresidenan Sumatera Timur ini berdasarkan surat keputusan dari Gubernur Belanda tanggal 15 Mei 1873. Wilayah kekuasaannya adalah kerajaan Siak dan sekitarnya dan wilayah kerajaan Riau di Tanjung Pinang dan kemudian wilayah Kepulauan Riau dibagi dua pada tahun 1873 separuh masuk keresiden Sumatera timur dan sebagian masuk keresiden Riau di Tanjung Pinang. Selain menata perdagangan dan lahan-lahan perkebunan yang dihidupkan kembali serta armada laut diaktifkan, sultan juga mendidik Puteranya Syarif Hasyim dalam bidang ekonomi dengan harapan kelak puteranya dapat memperbaiki perekonomian kerajaan yang sudah porak-poranda. Untuk pertahanan di dalam negeri, baginda mulai melatih rakyat dan melengkapi persenjataan dan gudang-gudangnya. Di dalam negeri, beliau mulai mendirikan sarana peribadatan seperti mesjid dan surau-surau termasuk pembangunan mesjid kerajaan tahun 1874 M yang diberi nama Mesjid Khairat Mansur. Setelah itu beliau juga membuat mahkota kerajaan sebagai lambang kerajaan Siak. Mahkota kerajaan Siak dibuat dari bahan emas murni dan bertaburkan permata intan berlian dan permata lainnya seperti batu zamrud dan batu delima. Kemudian juga membuat istana dipinggir sungai Siak yang terbuat dari bahan batu bata, keramik Cina, penuh dengan ukiran dan Kristal dan berlantai dua serta berpagar dengan besi berukir. Istana ini disebut Istana Lama, sempat dipakai oleh Sultan Hasyim dan kemudian Sultan Hasyim membuat istana baru yang bernama Istana Asserayatul Hasyimiah. Kemudian istana lama dipakai oleh kakanda Sultan Hasyim bernama Tengku Sulung Muda (Sayid Alwi). Putera ketiga dari Sultan Syarif Kasim I. Semasa Sultan Syarif Hasyim menjadi Sultan ianya ditetapkan sebagai wakil Sultan. Tengku Sulung Muda Sayid Alwi mangkat di Singapura. Jenazahnya dibawa ke Siak dengan mempergunakan kapal gulanggi dan dimakamkan di komplek pemakaman Koto Tinggi, diberi gelar Marhum Muda. Setelah ia wafat, istana tersebut ditempati oleh anandanya Tengku Besar Sayid Sagaf
yang pada masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim II ditetapkan sebagai regent kerajaan Siak. Selama menjalankan pemerintahan, Sultan Syarif Kasim dibantu oleh anak-anaknya yaitu : 1. Tengku Muda (Sayid Hasan) diangkat sebagai wakil Sultan dengan surat keputusan No. C/I akte tanggal 8 November 1885. 2. Tengku Bagus (Sayid Toha) menguasai wilayah Pekanbaru. 3. Tengku Sulung Muda (Sayid Alwi) menguasai wilayah Tanjung dan Pagarawan . 4. Tengku Ngah (Sayid Hasim) menguasai wilayah Bagan Siapi-api
            Menjelang kemangkatan Sultan Syarif Kasim terjadi peristiwa perebutan kekuasaan di dalam lingkungan istana, adapun residen Belanda mendapat khabar bahwa sultan dalam keadaan gering yang menghawatirkan. Pada tanggal 18 Oktober 1889 tuan residen Belanda datang ke Siak Sri Indrapura. Tengku Muda (Sayid Hasan) yang menemui residen Belanda karena ia menjabat sebagai wakil sultan lalu menjawab pertanyaan residen Belanda dengan mengatakan bahwa ayahandanya dalam keadaan gering. Besoknya pada tanggal 19 Oktober 1889 datang juru tulis residen Belanda yang meminta Tengku Muda menghadap residen Belanda besok harinya. Dikarenakkan sultan dalam keadaan sakit, maka Tengku Muda mengutus salah seorang Datuk Empat Suku untuk menyampaikan permohonan maaf kepada tuan konteleur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tengku Ngah Sayid Hasim yang merupakan putera keempat Sultan Syarif Kasim untuk mengatur taktik atau siasat kepada Datuk Empat Suku oleh Tengku Muda untuk menemui tuan Residen. Tengku Ngah menghasut Datuk Empat Suku supaya tidak menemui tuan konteleur pada malam itu dan disuruhnya menghadap pada esok siangnya dengan alasan bahwa telah puas membujuk Tengku Muda untuk menghadap akan tetapi Tengku Muda dan Tengku Bagus tidak mau menemui tuan residen. Setelah mendengar berita dari Datuk Empat Suku, maka tuan residen sangatlah marah kepada Tengku Muda dan langsung memberhentikannya dari jabatan wakil sultan. Peristiwa ini terjadi senin tanggal 21 Oktober 1889 bertepatan dengan mangkatnya Sultan Syarif Kasim. Kemarahan tuan residen kepada Tengku Muda dan Tengku Bagus berujung pada perintah penangkapan kepada kedua adik
beradik itu dan akhirnya dipenjarakan di Benteng sampai pemakaman ayahandanya yang diselenggarakan pada tanggal 24 Oktober 1889. Setelah selesai pemakaman Sultan Syarif Kasim, maka pada tanggal 25 Oktober 1889 Tengku Muda dan Tengku Bagus dipindahkan ke Bengkalis dengan mempergunakan kapal Fa Kaf Nun dengan ketentuan dan perintah keduanya tidak boleh memasuki Siak untuk selama-lamanya. Sampai di Bengkalis, Tengku Muda terus menuju Riau Lingga ke tempat Isterinya Tengku Bedah dan dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Tengku Zainah. Sedangkan Tengku Bagus terus menetap di Bengkalis dan membuka sebuah kampung yang diberi nama Damun yang mengandung arti darah Sultan. Sampai ianya wafat dan juga dimakamkan di daerah Damun tersebut. Sultan Syarif Kasim mempunyai beberapa anak yaitu : 1.Dengan Permaisuri Tengku Ipah binti Tengku Endut. - Tengku Muda Sayid Hasan - Tengku Bagus (Sayid Toha) - Tengku Puteri Anum (Syarifah Syifak) - Tengku Erang (Syarifah Fadlun) - Tengku Lung Anum (Syarifah Zubaidah) - Tengku Gombeh (Syarifah Zaharah) - Tengku Mahbungsu (Syarifah Maryam) - Tengku Mas Intan (Syarifah Saidah) 2. Dengan Isteri Tengku Dalam dikaruniai putera dua orang : - Tengku Sulung Muda (Sayid Alwi) - Tengku Ngah (Sayid Hasyim)
            Setelah memegang pucuk pimpinan kerajaan Siak selama dua puluh lima tahun, maka pada tahun 1889 beliau wafat dan digelari dengan marhum Mahkota, karena sultan Kasim membuat mahkota kerajaan Siak pertama, terbuat dari emas dan ditata dengan batu permata dan intan sebanyak 600 butir. Dan sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Baginda dimakamkan di Komplek pemakaman Koto Tinggi di Siak Sri Indrapura.
Tengku Ngah Syed Hasyim
Sultan Assyaiyidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin
(sultan siak ke sebelas)(1889m-1908m)
(marhum baginda)


            Sayid Hasyim naik tahta pada tanggal 21 Oktober 1889 dengan gelar Sultan Sayid Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin.  Syarif Hasyim dikenal dengan nama Tengku Ngah. Beliau adalah putera Sultan Kasim I dari isterinya yang bernama Tengku Long Jiwa (Tengku Dalam). Sedangkan isteri pertama yang bernama Tengku Ipah binti Tengku Endut mempunyai dua putera yang satu bernama Tengku Muda Sayid Hasan dan Tengku Bagus Sayid Toha.             Sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini bahwa ketika mangkat Sultan Syarif Kasim I terjadi beberapa peristiwa sewaktu akan memandikan dan pemakaman terakhir dimana putera sultan dari ibunya bernama Tengku Ipah yaitu Tengku Muda Sayid Hasan dan Tengku Bagus Sayid Toha ditahan oleh Controleer Belanda dan mereka tidak dibolehkan melihat upacara pemakaman tersebut karena difitnah oleh Tengku Ngah. Fitnah yang disampaikan kepada Belanda adalah bahwa Tengku Muda dan Tengku Bagus akan mengamuk dalam upacara itu, maka itulah sebabnya kedua anak raja ini ditahan oleh Controleer Belanda. Inilah duka sepanjang masa kisah mangkatnya dan pengangkatan sultan pengganti dari Sultan Kasim I.44             Setelah Sultan Syarif Hasyim memerintah di kerajaan Siak beliau membuat kegiatan-kegiatan untuk membangun negeri Siak dengan jalan
meningkatkan perekonomian kerajaan dan perokonomian rakyat dengan cara bersatu padu meningkatkan usaha perdagangan. Untuk mempertegas bidang perekonomian ini sultan buka hubungan Siak dengan Teratak Buluh dan Kampar. _________________________________                 44 Catatan Tengku Bagus, 1889. Inilah Cetera Mulanya Gaduh di Dalam Bagan Api-api             Pada tanggal 25 Oktober 1889 sultan mengadakan penyederhanaan struktur pemerintahan dengan menghilangkan jabatan wakil raja. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1891 terbit surat kontrak baru tentang batas kerajaan Siak dengan pemerintahan Hindia Belanda. Tambahan wilayah kerajaan Siak antara lain .            1.   Wilayah Teratak Buluh dimasukkan dalam kerajaan Siak 2. Wilayah Tapung Kanan, Tapung Kiri, Tanah Putih, Bangko dan Kubu dimasukkan dalam wilayah kerajaan Siak. 3.  Nama-nama pulau yang termasuk wilayah Siak, seperti Pulau Rupat, Pulau Padang, Pulau Tebing Tinggi, Pulau Merbau, Pulau Rangsang, Pulau Tanjung Batu dan Karimun, tidak termasuk pulau Bengkalis karena sudah diserahkan dan diduduki Oleh Belanda sejak terjadinya perang dengan Inggris (Wilson) dengan Sultan Ismail yang dibantu oleh Belanda.             Sultan Syarif Hasyim dalam melaksanakan pemerintahan Kerajaan Siak beliau sangat gigih terutama dalam melakukan kontak dagang antara negeri Siak dengan Bagan Siapi-api, negeri Siak dengan Pekanbaru dan terus hingga ke Singapura sampai ke Melaka. Semua barang dagangan serta para penumpang yang akan berlayar harus menaiki kapal kerajaan yang dijadikan kapal tambang, bagi orang-orang yang mau datang ke negeri Siak. Adapun kapal-kapal tersebut bernama kapal “ Nur Hasyim” kapal “Sri Pekan” dan kapal “Sri Guntung”. Kapal Nur Hasyim membawa barang dagangan dan penumpang ke Bengkalis, Selat Panjang dan Singapura. Kapal Sri Pekan membawa dagangan dan penumpang ke Pekanbaru, sedangkan kapal Sri Guntung membawa barang dagangan dan penumpang ke Bagan Siapi-api. Disamping itu sultan juga mencater kapal Cina, Singapura yang bernama Teng Seng Guan untuk menambah armada lautnya dari Singapura ke Siak Sri Indrapura dan terus ke Pekanbaru. Petugas khusus yang bertugas mengatur barang dagangan dan penumpang adalah ipar Sultan yang bernama Muhammad Syeh yang digelar Datuk Maha Raja Dewa. Kapal-kapal lain yang masuk ke Siak tidak dibenarkan membawa penumpang tanpa seizing Datuk Maharaja Dewa.             Cina-cina yang ada di Bagan Siapi-api membuat surat pengaduan
ke Residen di Medan tentang kontrak-kontrak yang tidak diberikan kepada suku cina karena beliau lebih mementingkan pihak bumi putera. Menyikapi hal tersebut residen mengabarkan kepada Sultan Hasyim bahwa dia akan datang ke Siak. Dalam hal ini Sultan Hasyim akan menyediakan sambutan kepada residen secara adat kerajaan, tetapi residen menolak, saya datang tidak resmi hanya seperti orang biasa saja. Setelah Residen sampai di Siak, Sultan menyambut secara sederhana saja karena dalam adat melayu setiap tamu datang harus dihormati. Di dalam pertemuan tersebut, Residen menasehati Sultan Syarif Hasyim yang berbunyi sebagai berikut: “ Tengku, saya kasih peringatan, jika Tengku hendak jadi Raja, jangan jadi saudagar, jika hendak jadi saudagar jangan jadi Raja.”45 Setelah selesai pertemuan itu Tuan Residen pun pulang ke Medan. Tuan Residen tidak berani berbuat apa-apa dengan Sultan Helma” ibunda “Ratu Wihelmina” Ratu kerajaan Belanda di Eropa.             Pada tahun 1898 Sultan Syarif Hasyim mengadakan lawatan ke Eropa untuk memenuhi undangan Ratu Helma dalam rangka penobatan puterinya Ratu Wihelmina di negeri Belanda. Sultan Syarif Hasyim dinaikkan ke atas sebuah kereta kencana yang dikawal oleh pasukan berkuda tentara kerajaan Belanda. Kemudian sebagai tanda kehormatan dari pihak kerajaan Belanda, Sultan Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin diberi anugrah bintang kehormatan “Ridder in Orde Van Nederlandse”46             Pengalaman perjalanannya memenuhi undangan Ratu Helma dari belanda ini memberi dorongan yang kuat akan membangun negeri Siak. Setelah selesai mengikuti penobatan Ratu Wihelmina Sultan mendapat hadiah sebuah patung potret dirinya yang dibuat dari bahan batu pualam. Hadiah dari Ratu Helma sebuah patung tembaga potret dirinya. Sultan Syarif Hasyim agak lama berada di Belanda dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Jerman dan ke Timur Tengah.
_______________________________                 45 Catatan Tengku Bagus, 1889.                 46 W.H.M. Schadee, 1918, bahagian II Pasal 34.
            Sekembalinya Sultan Syarif Hasyim dari pelawatannya di Eropa, beliau membangun sebuah Istana yang megah di Siak Sri Indrapura yang diberi nama Asserayah Hasyimiah yang berarsitektur gabungan Eropa dan Arab dan Arsiteknya adalah seorang Insinyur dari Perancis. Istana mulai dibangun pada tahun 1890 oleh kepala tukang yang
bernama Van De Worde dan selesai dibangun pada tahun 1899. Interior dan perabotan didatangkan dari Jerman, sedangkan batu-batu bata dibawa dari singapura. Diatas puncak dan pintu gerbang Istana ada patung burung Elang yang terbuat dari perunggu. Burung Elang menggambarkan sebuah kekuasaan yang dapat mencermati kawasan wilayah kerajaan. Sultan Syarif Hasyim adalah seorang Sultan yang berhasil membangun negeri Siak, beliau menata kota Siak secara rapi, beliau juga membangun Istana untuk Isterinya Tengku Embung dengan beratap kajang bertingkat memakai selembayung dan sayap layanglayang diujung atapnya. Untuk menata pemerintahan, sultan membangun sebuah gedung atau balai untuk tempat bermusyawarah dan mufakat atau dengan kata lain Balai Kerapatan Tinggi yang diberi nama “Balai Rung Seri” bangunan balai tersebut dipergunakan sebagai ruang kerja sultan beserta aparatur pemerintahan kerajaan. Balai dibangun berlantai dua berbentuk arsitektur Melayu dan beratap kajang limas pakai tunjuk langit berukir kelok paku. Gedung balai kerapatan atau Balai Rung Seri merupakan tempat acara pelantikan dan kantor besar kerajaan serta tempat pelaksanaan sidang-sidang adat, baik masalah pelanggaran adat maupun mahkamah syari’ah yang dipimpin oleh sultan. Dengan adanya kedua bangunan yang megah tersebut menjadikan kerajaan Siak semakin maju dan pihak Belanda nampaknya semakin menekan beliau. Namun sultan tetap tegar dan gigih untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Kemudian untuk keperluan kerajaan didirikan percetakan sendiri yang digunakan untuk mencetak segala yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan kerajaan termasuk mencetak buku pedoman atau undang-undang kerajaan yang bernama Bab al-qawaid yang artinya Pintu Segala Pegangan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Bab al-qawaid ditulis pada periode kedua yakni ketika kerajaan Siak dipimpin oleh sultan yang berketurunan Arab. Dalam pemerintahan, Sultan Syarif Hasyim dibantu oleh dua orang komisaris yakni : 1. Tengku Mansyur (Sayid Hasan putera dari mangkubumi Sayid Ahmad) gelar Pangeran Wira Negara (commissaris zhbenedin strom). Menguasai jajahan sebelah laut. 2. Tengku Kecil Besar (Sayid Mahdar) gelar pangeran Wira Kesuma (commissaris zhboupen strom) menguasai jajahan sebelah hulu. Semasa hidup Sultan Syarif Hasyim mempunyai beberapa orang
Beranda
Lihat versi web
isteri dan anak. 1. Tengku Yuk (Syarifah Aminah) binti Tengku Musa dan dikaruniai seorang anak lelaki bernama Tengku Sulung (Sayid Kasim) 2. Tengku Embung binti Tengku Sulung Laut dan tidak dikaruniai anak 3. Encik Atik binti Datuk Haji Kasim dan tidak dikaruniai anak 4. Encik Rafeah binti Datuk Muhammad Saleh, dikaruniai seorang anak lelaki yang bernama Tengku Long Putih (Sayid Muhammad). Pada tahun 1908, sultan pergi ke Singapura dalam usaha peningkatan hubungan perekonomian kerajaan Siak untuk bertemu dengan pengusaha Belanda, Inggris dan Cina dengan maksud mengadakan hubungan perdagangan ke negeri Siak. Keberangkatan sultan tentulah diiringi oleh orang-orang besar kerajaan. Dengan tiada di duga Sultan Syarif Hasyim mangkat di Singapura bertepatan pada tanggal 2 April 1908. Berita kemangkatan Sultan Syarif Hasyim tersiar di Siak Sri Indrapura sehingga rakyat Siak berkabung atas kemangkatan sultan. Begitu pula kerabat dekat Sultan Hasyim yakni Sultan Ibrahim Johor. Bahru ikut berbelasungkawa dengan mengirimkan surat duka cita bertarikh 5 Rabiul akhir 1326 H. beberapa hari kemudian jenazah sultan dibawa ke Siak Sri Indrapura dengan pengawalan ketat dari pasukan serdadu Belanda mempergunakan bionet terhunus. Para kerabat dan orang-orang besar kerajaan tidak dibenarkan membuka keranda (peti jenazah) Sultan. Pada hal keluarga dan kaum kerabat serta rakyat Siak ingin melihat wajah beliau yang terakhir sehingga rakyat Siak, para kerabat dan orang-orang besar kerajaan sangat kecewa atas tindakan pemerintahan Belanda tersebut.             Sultan Assaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin dimakamkan di komplek pemakaman kerajaan Koto Tinggi Siak Sri Indrapura dengan gelar Marhum Baginda.
Tengku Putera Syed Qasim
Sultan Assyaiyidis Syarif QaSIM 2 Abdul Jalil Syaifuddin(sultan sias 12)
(1915m-1941m)(marhum mangkat di rumbai)


            Setelah Sultan Syarif Hasyim wafat, pemerintahan dijalankan oleh dua orang Besar Kerajaan yakni Tengku Besar Sayid Sagaf dan Datuk Lima Puluh sebagai menteri kerajaan. Tengku Besar menjabat sebagai Wakil Sultan. Hal ini dikarenakan putera mahkota Syarif Kasim sedang menuntut ilmu pengetahuan di Jakarta. Tengku Besar menjabat sebagai regent (Wakil Sultan) kerajaan Siak sejak dari tanggal 1 Juni 1908 sampai dengan 17 Desember 1915. Tengku Besar Sayid Sagaf adalah putera Tengku Sulung Muda Sayid Alwi saudara sepupu dari Sultan Syarif Kasim Sani (II), ayahanda dari Tengku Besar adalah kekanda Sultan Syarif Hasyim. Isteri Tengku Besar bernama Tengku Marsemi (Syarifah Alauliah)             Setelah Tengku Sulung Sayid Kasim selesai mengikuti pendidikan di Batavia, beliau dinobatkan menjadi Sultan Siak ke-12 pada tanggal 3 Maret tahun 1915 dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin yang berarti Kasim Yang mulia, Yang rajin, Hamba Yang mulia, pedang agama yang Agung beliau ini lebih dikenal dengan sebutan Sultan Syarif Kasim II.             Sultan Syarif Kasim lahir di Siak Sri Indrapura pada tanggal 11 Jumadil Awal 1310 H, bertepatan dengan tanggal 1 Desember 1893. Beliau adalah putera sulung Sultan Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin
Sultan ke-11 dari kerajaan Siak, ibundanya bernama Tengku Yuk, Syarif Kasim mempunyai saudara satu ayah berlainan ibu yang bernama Tengku Long Putih Sayid Muhammad yang selama hayatnya menghabiskan hidupnya di Singapura. Ibu Tengku Long Putih bernama Encik Rafe’ah binti Datuk Muhammad Saleh seorang perempuan biasa artinya perempuan yang bukan dari keturunan bangsawan tetapi beliau adalah anak Datuk orang besar kerajaan Siak. Sementara itu dari pihak ayah sangat jelas bahwa Syarif Kasim merupakan anak lelaki atau putera mahkota dari Sultan Syarif Hasyim bin Sultan Syarif Kasim I yang menikahi Tengku Dalam Syarifah Zahrah. Kerajaan Siak bukanlah sebagai kerajaan Islam, tetapi prinsipprinsip Islam dilakukan sepanjang yang dapat diusahakan dan dilakukan. Kedudukan seorang sultan sangatlah menentukan bukan saja sebagai seorang pimpinan negeri tetapi juga sebagai Khalifatullah atau Wali Allah atau sultan adalah bayangan Allah di permukaan bumi ini.47 Gelar yang dipikul oleh sultan negeri Siak merupakan tanggung jawab yang mencerminkan beban yang harus dipikul untuk kerajaan, agama dan rakyatnya. Sultan Syarif Kasim memegang prinsip-prinsip Islam yang dilakukan secara konsisten ke dalam merupakan menifestasi dari bentuk atau gerakan melawan kekuatan kolonial Belanda secara diam-diam.             Pada tanggal 27 Oktober tahun 1912 Sultan Syarif Kasim mengakhiri masa bujangnya diikat perkawinannya dengan puteri Tengku Embung Jaya Setia bernama Tengku Syarifah Latifah diberi gelar Tengku Agung yang berasal dari kerajaan Langkat. Tengku Agung seorang perempuan bangsawan Melayu yang cantik, tinggi lampai, bijak bestari, cerdas dan berwibawa sebagai seorang permaisuri. Selama beliau mendampingi suaminya sebagai Sultan kerajaan Siak, beliau memberikan pendidikan kepada anak-anak perempuan dalam membina rumah tangga sejahtera. Sistem pemerintahan kerajaan masih berlaku seperti pada masa pemerintahan ayahandanya, Sultan Assaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang disusun dalam Bab Al Qawa’id yakni :             1. Sultan (Raja) adalah kepala pemerintahan, pemegang kedaulatan dan administrasi tertinggi dalam kerajaan Siak Sri Indrapura             2.   Dewan Menteri (Dewan Kerajaan)                   Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan dibantu oleh
Dewan Menteri atau Dewan kerajaan. Dewan inilah yang memilih dan mengangkat sultan. Dewan ini bersama sultan membuat undang-undang dan peraturan. 3. Hakim Kerapatan Tinggi Hakim kerapatan tinggi ini berfungsi menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi terhadap hamba rakyat kerajaan Siak, Ketua kerapatan tinggi adalah sultan sendiri, sedangkan anggotanya terdiri dari para Datuk-datuk Empat Suku, Khadi Negeri Siak dan Controleur Siak mewakili Gubernur Belanda sebagai pendamping setiap persidangan 4. Hakim Polisi adalah kepala pemerintahan ditingkat propinsi sebagai wakil sultan dari propinsi wilayah kerajaan Siak yang terdiri dari 10 Propinsi. 5. Hakim Syari’ah Oleh karena dikerajaan Siak mempunyai 10 Propinsi, maka setiap propinsi ada seorang hakim Syari’ah. Hakim Syari’ah yang berkedudukan di negeri Siak Sri Indrapura bergelar Khadi, sedangkan hakim Syari’ah yang berkedudukan di sembilan propinsi lain di kawasan wilayah kerajaan Siak di gelar Imam Jajahan. Khadi negeri Siak bertugas menangani pengadilan tentang harta pusaka-warisan dan masalahmasalah hukum adat dan agama. Dalam melaksanakan tugasnya khadi negeri dibantu oleh imam jajahan di propinsi tempat kejadian kasus perkara.
________________________________            47 Amir Lutfi, 1983, Unsur Islam Dalam Sistem Peradilan Kesultanan Siak Sri Indrapura 1915-1945, Pekanbaru ; LPP IAIN Suska, hlm. 266. 6.    Hakim Kepala Suku         Pemerintahan yang terendah menurut hirarki kekuasaan kerajaan Siak Sri Indrapura adalah kepala suku atau hinduk, yang menurut istilah ketatanegaraan Siak disebut Hakim Kepala Suku/ Hinduk. Setiap propinsi yang 10 itu terbagi beberapa suku/hinduk berjumlah 211 suku/hinduk. Tugas kepala suku/hinduk adalah melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, mengurus atau mengatur
Beranda
Lihat versi web
kehidupan masyrakat, baik beragama, budaya adat istiadat yang taat kepada kerajaan dan sultan. Kepala suku/hinduk tunduk kepada hakim polisi yang mewakili sultan di propinsinya. Tengku Agung (Syarifah Latifah) wafat di Siak pada tahun 1929 dan dimakamkan di samping Masjid Syahabuddin Siak dan beliau menikah pula dengan adinda Tengku Agung yakni Syarifah Fadlun yang menjadi permaisuri yang kedua dan mendapat gelar Tengku Mahratu. Walaupun melangsungkan beberapa kali pernikahan, Sultan Syarif Kasim II tidaklah mempunyai keturunan. Pada tanggal 23 April 1968, Sultan Abdul Jalil Syaifuddin mangkat di rumah sakit Caltex Rumbai Pekanbaru. Besok harinya tanggal 24 April 1968 Gubernur Riau Letnan Jenderal Arifin Ahmad melepas jenazah Sultan Syarif Kasim dari gedung daerah Propinsi Riau untuk dibawa dan dimakamkan di Siak Sri Indrapura tepatnya di samping Masjid Syahabuddin Siak dan diberi gelar Marhum Mangkat di Rumbai. Allahyarham dimakamkan dengan upacara militer yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Arifin Ahmad yang pada waktu itu sebagai Gubernur Riau. Ribuan rakyat Siak Sri Indrapura melepas kepergian beliau dengan dukacita yang dalam serta do’a semoga amal ibadah dan pengabdian kepada negeri dan rakyat dapat diterima oleh Allah yang Maha Kuasa. Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim mendapat gelar kehormatan kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
 
Copyright 2016. All rights reserved.
Back to content | Back to main menu
Free Web Hosting